Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian mahar saat menikahinya. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka.
Dahulu di zaman jahiliah wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bisa membelanjakannya.
Maka datanglah Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan untuk memberikan mahar kepada wanita. Islam menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada wanita dan bukan kepada ayahnya.
"Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya". (An-Nisa: 4)
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata ?". (An-Nisa:20)
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". ( An-Nisa: 21)
Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada tingkat keqowwaman suami atas istri. Juga akan menguatkan hubungan pernikahan itu yang pada gilirannya akan melahirkan mawaddah dan rahmah.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar". ( An-Nisa : 34)
Kadar Mahar
Secara fiqhiyah, kalangan Al-Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Dan bila dicermati secara umum, nash-nash hadits telah datang kepada kita dengan gambaran yang seolah tidak mempedulikan batas minimal mahar dan juga tidak batas maksimalnya. Barangkali karena kenyataannya bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Maka berapakah harga mahar yang harus dibayarkan seorang calon suami kepada calon istrinya sangat ditentukan dari kemampuannya atau kondisi ekonominya.
Banyak sekali nash syariah yang memberi isyarat tentang tidak ada batasnya minimal nilai mahar dalam bentuk nominal. Kecuali hanya menyebutkan bahwa mahar haruslah sesuatu yang punya nilai tanpa melihat besar dan kecilnya. Maka Islam membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan bacaan Qur'an atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridha dan rela atas mahar itu.
a. Sepasang Sendal
Dari Amir bin Robi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullah-pun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu Majah 1888).
b. Hafalan Quran :
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata, "Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata, "Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini", Nabi menjawab, "bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata, " aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, "Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, "Apakah kamu menghafal Qur'an?". Dia menjawab, "Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, "Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda, "Ajarilah dia Al-Qur'an".
Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa :
Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non-muslim itu untuk masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keislamanannya itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Abu Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, "Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'ih 6/ 114).
Semua hadits tadi menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat.
Demikian pula dalam batas maksimal tidak ada batasannya sehingga seorang wanita juga berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal jika memang itu kehendaknya. Tak seorangpun yang berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia menginginkan mahar yang mahal.
Bahkan ketika Umar Bin Khattab RA berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat Qur'an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang-orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar, "Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak Anda".
Mahar Yang Baik Adalah Yang Tidak Memberatkan
Meskipun demikian tentu saja tetap lebih baik tidak memaharkan harga mahar. Karena Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist:
Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)
Tampilkan postingan dengan label Bab Nikah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bab Nikah. Tampilkan semua postingan
10.22.2011
Ijab Kabul
1. Syarat Ijab Qabul
· Satu Majelis
Akad nikah dengan sebuah ijab qabul itu harus dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga di dalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan qabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.
Sedangkan syarat bahwa antara ijab dan qabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Bila antara ijab dan qabul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain, seperti untuk mengambil nafas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan maknanya, maka tetap sah. Sebagaimana yang dituliskan di kitab Al-Muhgni.
· Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan
Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya, maka akad itu tidak sah.
· Antara Ijab dengan qabul tidak bertentangan
Misalnya bunyi lafadz ijab yang diucapkan oleh wali adalah, "Aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar 1 juta", lalu lafadz qabulnya diucapkan oleh suami adalah, "Saya terima nikahnya dengan mahar 1/2 juta". Maka antar keduanya tidak nyambung dan ijab qabul ini tidak sah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qabul lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab, maka hal itu sah.
· Keduanya sama-sama sudah tamyiz
Maka bila suami masih belum tamyiz, akad itu tidak sah, atau bila wali belum tamyiz juga tidak sah. Apalagi bila kedua-duanya belum tamyiz, maka lebih tidak sah lagi.
2. Lafadz Ijab Qabul
· Tidak Harus Dalam Bahasa Arab
Tidak diharuskan dalam ijab qabul untuk menggunakan bahasa arab, melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang ucapkan dan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.
Sebaiknya ijab menggunakan kata nikah, kawin, atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan bila menggunakan kata hibah, memiliki, membeli, dan sejenisnya tidak dibenarkan oleh Asy-Syafi'i, Ibnu Musayyib Ahmad dan 'Atho'. Sebaliknya Al-Hanafiyah membolehkannya. demikian juga dengan Abu Tsaur, Ats-Tsauri, Abu 'Ubaid dan juga Abu Daud.
· Dengan Fi'il Madhi
Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafadz ijab dan qabul haruslah dalam format fiil madhi (past) seperti zawwajtuka atau ankahtuka. Fi'il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu yang telah lampau. sedangkan bila menggunakan fi'il mudhari', maka secara hukum masih belum tentu sebuah akad yang sah. Sebab fi'il mudhari' masih mengandung makna yang akan datang dan juga sekarang. Sehingga masih ada ihtimal (kemungkinan) bahwa akad itu sudah terjadi atau belum lagi terjadi.
· Satu Majelis
Akad nikah dengan sebuah ijab qabul itu harus dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga di dalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan qabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.
Sedangkan syarat bahwa antara ijab dan qabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Bila antara ijab dan qabul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain, seperti untuk mengambil nafas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan maknanya, maka tetap sah. Sebagaimana yang dituliskan di kitab Al-Muhgni.
· Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan
Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya, maka akad itu tidak sah.
· Antara Ijab dengan qabul tidak bertentangan
Misalnya bunyi lafadz ijab yang diucapkan oleh wali adalah, "Aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar 1 juta", lalu lafadz qabulnya diucapkan oleh suami adalah, "Saya terima nikahnya dengan mahar 1/2 juta". Maka antar keduanya tidak nyambung dan ijab qabul ini tidak sah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qabul lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab, maka hal itu sah.
· Keduanya sama-sama sudah tamyiz
Maka bila suami masih belum tamyiz, akad itu tidak sah, atau bila wali belum tamyiz juga tidak sah. Apalagi bila kedua-duanya belum tamyiz, maka lebih tidak sah lagi.
2. Lafadz Ijab Qabul
· Tidak Harus Dalam Bahasa Arab
Tidak diharuskan dalam ijab qabul untuk menggunakan bahasa arab, melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang ucapkan dan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.
Sebaiknya ijab menggunakan kata nikah, kawin, atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan bila menggunakan kata hibah, memiliki, membeli, dan sejenisnya tidak dibenarkan oleh Asy-Syafi'i, Ibnu Musayyib Ahmad dan 'Atho'. Sebaliknya Al-Hanafiyah membolehkannya. demikian juga dengan Abu Tsaur, Ats-Tsauri, Abu 'Ubaid dan juga Abu Daud.
· Dengan Fi'il Madhi
Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafadz ijab dan qabul haruslah dalam format fiil madhi (past) seperti zawwajtuka atau ankahtuka. Fi'il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu yang telah lampau. sedangkan bila menggunakan fi'il mudhari', maka secara hukum masih belum tentu sebuah akad yang sah. Sebab fi'il mudhari' masih mengandung makna yang akan datang dan juga sekarang. Sehingga masih ada ihtimal (kemungkinan) bahwa akad itu sudah terjadi atau belum lagi terjadi.
Rukun Nikah: Saksi
Sebuah pernikahan tidak sah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam Islam. Dalilnya secara syar’i disebutkan oleh Khalifah Umar RA.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab RA ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata :
Ini adalah nikah sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam. (Riwayat Malik dalam Al-Muwqaththo')
1. Syarat Saksi
Mirip dengan syarat sebagai wali, untuk bisa dijadikan sebagai saksi, maka seseorang harus memiliki kriteria antara lain :
* 'Adalah (Adil), ini adalah syarat yang mutlaq dalam sebuah persaksian pernikahan. Sebab dalilnya menyebutkan bahwa saksi itu harus adil sebagaimana teks hadits. Yang dimaksud 'adalah (adil) adalah orang yang bebas dari dosa-dosa besar seperti zina, syirik, durhaka kepada orang tua, minum khamar dan sejenisnya. Selain itu seorang yang adil adalah orang yang menjauhi perbuatan dosa-dosa kecil secara ghalibnya. Termasuk orang yang makan riba (rentenir) dan yang sering bertransaksi dengan akad-akad ribawi, dianggap tidak adil dan tentunya tidak sah sebagai seorang saksi.
* Minimal Dua Orang, jumlah ini adalah jumlah minimal yang harus ada. Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang sah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 (dua) orang saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi lebih banyak, sebab nilai 'adalah di masa sekarang ini sudah sangat kecil dan berkurang.
* Beragama Islam, kedua orang saksi itu haruslah beragama Islam, bila salah satunya kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah
* Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak sah bila menjadi saksi sebuah pernikahan
* Baligh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi saksi.
* Merdeka, maka seorang budak tidak sah bila mejadi saksi sebuah pernikahan.
* Laki-laki, maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata, "Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq.
Namun mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam Al-Quran:
...Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.... (QS. Al-Baqarah : 282)
2. Saksi Yang Diminta Merahasiakan Akad Nikah
Dalam kasus tertentu, untuk menutupi rahasia sering kali sebuah pernikahan itu disaksikan oleh orang tertentu, namun kepada para saksi diminta untuk merahasiakan pernikahan itu.
Dalam masalah ini, para ulama mengatakan bahwa akad nikah itu hukumnya sah, namun dengan karahah (dibenci). Sebab tujuan utama dari adanya persaksian itu tidak lain adalah untuk mengumumkan. Maka meski akad itu sah namun tetap tidak dianjurkan. Demikianlah sikap Umar RA, As-Sya'bi, Nafi', dan 'Urwah.
Sedangkan dalam pandangan Imam Malik, pernikahan yang saksinya merahasiakan apa yang disaksikan itu harus dipisahkan dengan talak. Dan tidak dibenarkan untuk menyaksikan pernikahan bisa saksinya dilarang memberitahu pihak lain. Bila terlanjur menggaulinya, maka harus diserahkan maharnya. Namun kedua saksi itu tidak dihukum. Demikian riwayat Wahab sebagaimana tertera dalam Fiqhus Sunnah (2/169).
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab RA ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata :
Ini adalah nikah sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam. (Riwayat Malik dalam Al-Muwqaththo')
1. Syarat Saksi
Mirip dengan syarat sebagai wali, untuk bisa dijadikan sebagai saksi, maka seseorang harus memiliki kriteria antara lain :
* 'Adalah (Adil), ini adalah syarat yang mutlaq dalam sebuah persaksian pernikahan. Sebab dalilnya menyebutkan bahwa saksi itu harus adil sebagaimana teks hadits. Yang dimaksud 'adalah (adil) adalah orang yang bebas dari dosa-dosa besar seperti zina, syirik, durhaka kepada orang tua, minum khamar dan sejenisnya. Selain itu seorang yang adil adalah orang yang menjauhi perbuatan dosa-dosa kecil secara ghalibnya. Termasuk orang yang makan riba (rentenir) dan yang sering bertransaksi dengan akad-akad ribawi, dianggap tidak adil dan tentunya tidak sah sebagai seorang saksi.
* Minimal Dua Orang, jumlah ini adalah jumlah minimal yang harus ada. Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang sah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 (dua) orang saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi lebih banyak, sebab nilai 'adalah di masa sekarang ini sudah sangat kecil dan berkurang.
* Beragama Islam, kedua orang saksi itu haruslah beragama Islam, bila salah satunya kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah
* Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak sah bila menjadi saksi sebuah pernikahan
* Baligh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi saksi.
* Merdeka, maka seorang budak tidak sah bila mejadi saksi sebuah pernikahan.
* Laki-laki, maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata, "Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq.
Namun mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam Al-Quran:
...Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.... (QS. Al-Baqarah : 282)
2. Saksi Yang Diminta Merahasiakan Akad Nikah
Dalam kasus tertentu, untuk menutupi rahasia sering kali sebuah pernikahan itu disaksikan oleh orang tertentu, namun kepada para saksi diminta untuk merahasiakan pernikahan itu.
Dalam masalah ini, para ulama mengatakan bahwa akad nikah itu hukumnya sah, namun dengan karahah (dibenci). Sebab tujuan utama dari adanya persaksian itu tidak lain adalah untuk mengumumkan. Maka meski akad itu sah namun tetap tidak dianjurkan. Demikianlah sikap Umar RA, As-Sya'bi, Nafi', dan 'Urwah.
Sedangkan dalam pandangan Imam Malik, pernikahan yang saksinya merahasiakan apa yang disaksikan itu harus dipisahkan dengan talak. Dan tidak dibenarkan untuk menyaksikan pernikahan bisa saksinya dilarang memberitahu pihak lain. Bila terlanjur menggaulinya, maka harus diserahkan maharnya. Namun kedua saksi itu tidak dihukum. Demikian riwayat Wahab sebagaimana tertera dalam Fiqhus Sunnah (2/169).
Rukun Nikah: Wali
Paling tidak harus ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas sahnya sebuah pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status pernikahan itu. Yaitu Wali, Saksi, Ijab Kabul (akad), dan Mahar.
Wali
Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.
Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.
Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah)
Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)
Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi". (HR Ahmad).
1. Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang sah sebagai ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yang sah, maka secara hukum tidak sah juga kewaliannya.
2. Syarat Seorang Wali
* Islam, seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini :
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)
* Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak sah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.
* Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
* Merdeka, maka seorang budak tidak sah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama Islam, berakal, baligh.
3. Urutan Wali
Dalam mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :
* Ayah kandung
* Kakek, atau ayah dari ayah
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
* Saudara laki-laki ayah
* Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.
Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.
Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.
Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak sah dan harus dipisahkan saat itu juga.
4. Kasus Wali ‘Adhal : tidak mau menikahkan anak wanitanya ?
Seorang ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul adhal, yaitu wali yang menolak menikahkan.
Dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan putrinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yang sering dikenal adalah wali ‘adhal.
Namun tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga kepada keluarganya dan terutama kepada ayah kandungnya.
Dan untuk itu diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang. Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang tuanya tidak mau menikahkannya.
Sehingga pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali ‘adhal itu memang dianggap mengada-ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang sah dari pengadilan agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim. Misalnya untuk menghindari dari resiko zina yang besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak mau tahu.
Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yang sah dan resmi menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.
Wali
Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.
Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.
Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah)
Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)
Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi". (HR Ahmad).
1. Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang sah sebagai ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yang sah, maka secara hukum tidak sah juga kewaliannya.
2. Syarat Seorang Wali
* Islam, seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini :
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)
* Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak sah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.
* Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
* Merdeka, maka seorang budak tidak sah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama Islam, berakal, baligh.
3. Urutan Wali
Dalam mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :
* Ayah kandung
* Kakek, atau ayah dari ayah
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
* Saudara laki-laki ayah
* Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.
Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.
Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.
Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak sah dan harus dipisahkan saat itu juga.
4. Kasus Wali ‘Adhal : tidak mau menikahkan anak wanitanya ?
Seorang ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul adhal, yaitu wali yang menolak menikahkan.
Dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan putrinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yang sering dikenal adalah wali ‘adhal.
Namun tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga kepada keluarganya dan terutama kepada ayah kandungnya.
Dan untuk itu diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang. Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang tuanya tidak mau menikahkannya.
Sehingga pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali ‘adhal itu memang dianggap mengada-ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang sah dari pengadilan agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim. Misalnya untuk menghindari dari resiko zina yang besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak mau tahu.
Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yang sah dan resmi menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.
Anjuran Menikah
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
a. Menikah Adalah Sunnah Para Nabi dan Rasul
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa r bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna', [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
Hinna' artinya adalah memakai pacar kuku. Namun sebagian riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan Hinna' melainkan Haya' yang maknanya adalah rasa malu.
b. Menikah Adalah Bagian Dari 'Tanda' Kekuasan Allah SWT.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum:21)
c. Menikah Adalah Salah Satu Jalan Untuk Menjadikan Seseorang Kaya
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
d. Menikah Adalah Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
e. Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya menikah dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang pernikahan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu menikah; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang kena pengaruh kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu maka beliau menerangkan, bahwa sikap semacam itu adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari sunnah Nabi. Justru itu pula, fikiran-fikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat Islam.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (al-Maidah: 87)
Mujahid berkata: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.
"Ada satu golongan sahabat yang datang ke tempat Nabi untuk menanyakan kepada istri-istrinya tentang ibadahnya. Setelah mereka diberitahu, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain: di mana kita dilihat dari pribadi Rasulullah s.a.w. sedang dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang? Salah seorang di antara mereka berkata: Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka. Yang kedua mengatakan: Saya akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga berkata: Saya akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Nabi s.a.w. ia menjelaskan tentang kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan ia bersabda: 'Saya adalah orang yang kenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun tokh saya bangun malam, juga tidak, saya berpuasa, juga berbuka, dan saya juga kawin dengan perempuan. Oleh karena itu barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.'" (Riwayat Bukhari)
Said bin Abu Waqqash berkata:
"Rasulullah s.a.w. menentang Usman bin Madh'un tentang rencananya untuk membujang. Seandainya beliau mengizinkan, niscaya kamu akan berkebiri." (Riwayat Bukhari)
Dan Rasulullah juga menyerukan kepada para pemuda keseluruhannya supaya menikah, dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka menikahlah; karena dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)
Dari sini, sebagian ulama ada yang berpendapat: bahwa kawin itu wajib hukumnya bagi setiap muslim, tidak boleh ditinggalkan selama dia mampu.
Sementara ada juga yang memberikan pembatasan --wajib hukumnya-- bagi orang yang sudah ada keinginan untuk kawin dan takut dirinya berbuat yang tidak baik.
Setiap muslim tidak boleh menghalang-halangi dirinya supaya tidak kawin karena khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung yang berat terhadap keluarganya. Tetapi dia harus berusaha dan bekerja serta mencari anugerah Allah yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang sudah kawin itu demi menjaga kehormatan dirinya.
Janji Allah itu dinyatakan dalam firmanNya sebagai berikut:
"Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah patut kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerahNya." (an-Nur 32)
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Ada tiga golongan yang sudah pasti akan ditolong Allah, yaitu: (1) Orang yang kawin dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri; (2) seorang hamba mukatab yang berniat akan menunaikan; dan (3) seorang yang berperang di jalan Allah." (Riwayat Ahmad, Nasa'i, Tarmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim)
f. Menikah itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yaasin : 36)
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.(QS. Az-Zukhruf : 12)
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.(QS. An-Najm : 45)
a. Menikah Adalah Sunnah Para Nabi dan Rasul
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa r bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna', [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
Hinna' artinya adalah memakai pacar kuku. Namun sebagian riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan Hinna' melainkan Haya' yang maknanya adalah rasa malu.
b. Menikah Adalah Bagian Dari 'Tanda' Kekuasan Allah SWT.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum:21)
c. Menikah Adalah Salah Satu Jalan Untuk Menjadikan Seseorang Kaya
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
d. Menikah Adalah Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
e. Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya menikah dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang pernikahan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu menikah; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang kena pengaruh kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu maka beliau menerangkan, bahwa sikap semacam itu adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari sunnah Nabi. Justru itu pula, fikiran-fikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat Islam.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (al-Maidah: 87)
Mujahid berkata: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.
"Ada satu golongan sahabat yang datang ke tempat Nabi untuk menanyakan kepada istri-istrinya tentang ibadahnya. Setelah mereka diberitahu, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain: di mana kita dilihat dari pribadi Rasulullah s.a.w. sedang dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang? Salah seorang di antara mereka berkata: Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka. Yang kedua mengatakan: Saya akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga berkata: Saya akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Nabi s.a.w. ia menjelaskan tentang kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan ia bersabda: 'Saya adalah orang yang kenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun tokh saya bangun malam, juga tidak, saya berpuasa, juga berbuka, dan saya juga kawin dengan perempuan. Oleh karena itu barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.'" (Riwayat Bukhari)
Said bin Abu Waqqash berkata:
"Rasulullah s.a.w. menentang Usman bin Madh'un tentang rencananya untuk membujang. Seandainya beliau mengizinkan, niscaya kamu akan berkebiri." (Riwayat Bukhari)
Dan Rasulullah juga menyerukan kepada para pemuda keseluruhannya supaya menikah, dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka menikahlah; karena dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)
Dari sini, sebagian ulama ada yang berpendapat: bahwa kawin itu wajib hukumnya bagi setiap muslim, tidak boleh ditinggalkan selama dia mampu.
Sementara ada juga yang memberikan pembatasan --wajib hukumnya-- bagi orang yang sudah ada keinginan untuk kawin dan takut dirinya berbuat yang tidak baik.
Setiap muslim tidak boleh menghalang-halangi dirinya supaya tidak kawin karena khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung yang berat terhadap keluarganya. Tetapi dia harus berusaha dan bekerja serta mencari anugerah Allah yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang sudah kawin itu demi menjaga kehormatan dirinya.
Janji Allah itu dinyatakan dalam firmanNya sebagai berikut:
"Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin) dan orang-orang yang sudah patut kawin dari hamba-hambamu yang laki-laki ataupun hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerahNya." (an-Nur 32)
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Ada tiga golongan yang sudah pasti akan ditolong Allah, yaitu: (1) Orang yang kawin dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri; (2) seorang hamba mukatab yang berniat akan menunaikan; dan (3) seorang yang berperang di jalan Allah." (Riwayat Ahmad, Nasa'i, Tarmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim)
f. Menikah itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yaasin : 36)
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.(QS. Az-Zukhruf : 12)
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.(QS. An-Najm : 45)
Hukum Pernikahan dalam Islam
Hukum Pernikahan dalam Islam
Dalam pembahasan ini kita akan berbicara tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Sumber : http://my.opera.com/Boecharyst%20M.Kasim/blog/
Dalam pembahasan ini kita akan berbicara tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Sumber : http://my.opera.com/Boecharyst%20M.Kasim/blog/
Langganan:
Postingan (Atom)