Pages

Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Materi Kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Materi Kuliah. Tampilkan semua postingan

10.24.2011

Meneladani Filsafat Dakwah Sunan Kalijaga

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan (Wayang Kulit), ada seorang Publik Figure (Uswatun Hasanah) yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan (kerajaan) Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘’Puntodewo”, sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah” Kun Ta Da’iyan” yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan (dakwah).

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘’ Pendowo Lima”. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno (Janoko), Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali (Raden Mas Said), kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama’ yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan ” Jamus Kalimu Sodo” yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan (ceramah), dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da’i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:”

“Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa” sebagaimana dicatat oleh sejarah:” Menehono teken wong kang wuto (buta), Menehono pangan marang wong kang luwe (kelaparan), menehono busono marang wong kang wudo (telanjang), menehono ngiyup marang wong kang kaudanan (kehujajan)[1].

Filsafat dakwah para ulama’ terdahulu mendahulukan moral (Haliyah), sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama’ itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran (ilmu)nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.

Mereka telah tiada, tetapi buah pikiranya masih sangat terasa, bahkan dibaca oleh jutaan manusia dibelahan dunia. Mereka perintis kebaikan, mewarisi ilmunya para Nabi, dan melanjutkan cita-cita Nabi. Sudah pasti, mereka memperoleh aliran pahala (royalti) dari jerih payahnya selama merintis kebaikan kala itu. Nabi pernah menuturkan:” Barang siapa merintis (sunnah) kebaikan di dala agama islam, kemudian kebaikan itu dilakukan, maka ia akan memperoleh pahala, serta memperoleh pahala kebaikan orang yang melakukanya sepeninggalnya”.[4]

b. Dakwah di Era Internitasi.

Di era modern, dunia sudah menjadi satu, busana laki-laki dan wanita sulit untuk dibedakan. Nama laki-laki sering dipakai oleh seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Pola fikirnya juga tidak jauh berebda antara kaum hawa dan lelaki. Yang membedakan hanyalah kodratnya wanita yang masih melahirkan, walaupun ahir-ahir ini kaum wanita mulai menggugat dengan “‘Revolusi Seksual”. Mereka tidak ingin menikah, mereka bisa memiliki anak tanpa harus menikah, mereka menggugat kesakralan penikahan.

Pergaulan muda-mudi seringkali kebablasan, dan sulit dikontrol lagi, bahkan sampai berbuat kriminal. Orang sibuk mencari rejeki dikota-kota besar, bahkan pergi keluar Negeri untuk mengadu nasib, tanpa memperdulikan tuhan sang pemberi rejeki. Mereka lupa, bahwa tuhanlah yang menghendaki dan merubah dunia dan isinya. Orantua tega membunuh anaknya sendiri, begitu juga sebaliknya. Yang kuat selalu berkuasa dan berbuat semena-mena, dan yang miskin selalu tertindas, semakin hari semakin menjerit.

Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah.

Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, sudah saatnya bertapa (puasa) untuk mencari petunjuk-Nya. Sholat malam, puasa sunnah, menjalankan sholat lima waktu, memohon kepada-Nya ditenggah keheningan malam agar memperoleh hidayah-Nya. Seringkali renungan ditenggah malam mampu menembus langit, sehingga tuhan berkenan memberikan methode ampuh, yang kemudian bisa untuk menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunah kepada masyarakat.

Internet, TV, dan juga Media masa adalah salah satu media atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan tuhan dan Nabi di muka bumi. Dan ini adalah dakwah di dunia modern, bukan berarti meninggalkan cara-cara klasik, seperti ngaji (halakoh) di masjid-masjid atau musolla. Karena methode klasik ini masih relevan, perlu dipertahankan dan lestarikan. Namun, terus mencoba mencari terobosan baru di dunia modern ini, seperti menenalan Nabi dengan layar lebar, atau membuktikan ke-ilmiyahan al-Qur’an dan dawuhnya Nabi. Dengan harapan, semua itu dapat merubah moral generasi bangsa menjadi lebih baik.

Njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah. Di dunia Modern, tehnologi dan informasi menjadi alat untuk menjelajahi dunia maya (internet), dengan menulis pesan-pesan tuhan lewat internet, agar semua orang bisa membaca dan mengambil manfaatnya. Dan ini adalah cara terbaik, di era modern dan internitasi. Dakwah kita terus kita perbaiki dengan inovasi, sehingga menarik dan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Yang lebih penting lagi, senantiasa berdo’a siang dan malam, agar mendapatkan petujuk dan pertolongan-Nya. Wallau a’lam

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/20/meneladani-filsafat-dakwah-sunan-kalijaga/

NUANSA FILSAFAT DAKWAH DI DALAM TEOLOGI MU’TAZILAH

A. Pendahuluan
“Segala sesuatunya semakin memburuk, dan sungguhlah jelas mengapa kita belum meminum ampas yang terakhir. Tetapi saya menganggap naiknya semua racun ini ke permukaan sebagai suatu proses yang perlu dalam pembentukan Negara” ucap Gandhi kepada Jawaharhal Nehru pada pertengahan tahu 1927[1].
Ungkapan Gandhi di atas, mungkin mengarah pada sebuah Negara yang sedang dilanda kehancuran karena adanya wabah penyakit. Akan tetapi walaupun begitu, perlu dikaji ulang, bahwa Islam pun semenjak wafatnya Rasulullah Saw, juga mengalami kemerosotan, terutama pada kemerosotan moral dan terpecahnya umat ke dalam sekian aliran.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang agama-agama di dunia ini mengalami gerak dinamis, perlahan tapi pasti, terpecah ke dalam sekte-sekte baru untuk mencari satu tujuan yang hakiki.
Naiknya racun ke permukaan, seperti yang diucapkan Mahatma Gandhi tersebut di atas, sama halnya terjadi dalam komunitas Islam setelah ditinggal oleh the lord of the world Muhammad Saw. Pemberontakan terhadap khalifah berlangsung besar-besaran, kesimpangsiuran akan hukum suatu masalah seakan tiada henti, hingga perselisihan fikir dan idealisme yang mengakibatkan terbunuhnya seorang khalifah Allah.
Beberapa realita tersebut, menjadi sesuatu yang patut dicemaskan, karena tidak menutup kemungkinan, Islam menjadi agama yang tidak lagi memiliki identitas sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Sehingga benarlah, bahwa membangun kembali unitas muslim jauh lebih berarti, daripada saling tuding dan mempertahankan idealisme yang tidak diketahui kebenaran mutlaknya.
Maka, realitas dan keinginan untuk membangun kembali unitas muslim itulah yang menjadi sejarah timbulnya mu’tazilah, dengan terlebih dahulu mengasingkan diri agar mampu menjernihkan diri dari perasaan subjektifitas dalam menilai kelompok dan orang lain, sehingga memandang kondisi insani secara arif dan bijaksana, melalui tunggangan filsafat Islam.
B. Filsafat Islam dan Lahirnya Kaum Mu’tazilah
Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam, terdapat lima abad yang menyaksikan suatu kegiatan filsafat yang menakjubkan. Yakni antara 100-595 Hijriyah atau tahun 720-1198 Miladiyah. Dalam lima kurun itu, para ahli pikir Muslim terbawa untuk memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama, serta terhadap alam dunia, dengan bertitik tolak dari daya akal murni. Mereka memikirkan kondisi insani pada latar belakang hakikat terakhir, serta sampai urat tunggan yang terdalam secara kritis dan sistematis.[2]
Dalam kerja pikir mereka itulah, ditemukan dua pendekatan berlainan terhadap iman dan agama. Terdapatlah alim ulama yang mempergunakan metode rasionil untuk menyelesaikan soal-soal iman. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yaitu mu’tazilah dan mutakallimun.
Memberikan definisi terhadap filsafat, sama halnya dengan menentukan mana lebih dulu antara telur dan ayam. Sebab diakui, kita bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang yang sedang belajar dari filsuf yang telah lalu.
Secara etimologi, kata filsafat, diambil dari bahasa Arab, Falsafah-berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, kata majemuk yang yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, kata filsafat memberikan pengertian “cinta kebijaksanaan atau mencintai kebijaksanaan.”
Al-Farabi (wafat 950), seorang Filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya[3]. Selain itu, penulis Living Issues in Philosophie, juga berpendapat bahwa “filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran, terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.”[4]
Dari kedua pengertian filsafat di atas, dapat dimengerti bahwa kegiatan mengetahui hakikat dan mempelajari ilmu secara radix adalah tugas pokok seorang filsuf, termasuk juga kegiatan mengkritisi sesuatu yang masih menjadi kesimpang siuran.
Dari pernyataan tersebut, maka kegiatan mengkritisi dalam filsafat, merupakan salah satu faktor penyebab munculnya aliran Mu’tazilah. Walaupun diketahui, Titus-penggagas pengertian filsafat tersebut-tidak lahir dan hidup pada masa awal dan perkembangan aliran Mu’tazilah.
Pendapat yang menyatakan bahwa filsafat berawal dari ketidaktahuan tentang suatu hal, serta keragu-raguan akan kebenarannya seperti pembahasan di atas, merupakan hal yang senada dengan Jujun S. Suriasumantri. Ia berpendapat bahwa pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat fimulai dengan kedua-keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum pernah kita ketahui.[5]
C. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Sepeninggal Rasulullah Saw, hingga menjelang berakhirnya zaman khulafaurrasyidin (632-660), alam Islami dilanda oleh musibah aneka warna. Fitnah besar pertama (656-661), dimana laskar Allah (hizbullah) mengumumkan perang jihad kepada khalifah Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib dan membunuh mereka, membawa krisis kepemimpinan. Fitnah besar kedua (680-692) menggoncangkan dasar hukum dari kepemimpinan tersebut. Dalam kalangan para mu’min timbullah bermcam-macam persoalan mengenai ajaran murni agama. Sejumlah aliran menarik penganut, sehingga polarisasi pendapat timbul dan kesatuan ummat tercerai berai. Faham Jahiliyyah tampak kembali. Amanah Rasulullah terancam pudar, dalam kekacauan dan kesemrawutan itu, bangkitlah suatu kelompok ahli pikir yang berpendirian tegas, dan bertekad menyelamatkan kehancurannya. Usaha mereka untuk mengoreksi situasi menyedihkan itu, berpangkal pada penggunaan akal dan asas-asas rasional. Karenanya mereka digelari nama ahli pikir dan filsuf pertama dalam Islam. Golongan itu disebut Mu’tazilah atau I’tizal, yaitu mereka yang memisahkan diri dari jumhur alim ulama yang dianggapnya menyelewengkan ajaran Islam.
Mu’tazilah lahir pada masa Bani Umayyah, diambil dari kata kerja ‘azala yang berarti, berpisah.[6] Lahir di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan nafas alirannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.[7]
Perselisihan antara Washil dengan sang guru, Hasan Bashri. Dimotivasi oleh masalah pengertian “murtakibil kabirah” atau pendosa besar.[8] Yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Dalam kesempatan tersebut, Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan satu dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada di antara dua keadaan, dengan pengertian bahwa orang tersebut bukan mukmin dan bukan juga kafir. Dalam kaitan ini, dijelaskan bahwa Washil segera bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan sang guru karena perbedaan pendapat. Lantas setelah itu, Washil mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dengan aliran yang dikenal dengan sebutan “mu’tazilah”.
Hal yang mencolok dari mu’tazilah, adalah prioritas mereka kepada rasio. Mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan wahyu, maka yang diutamakan adalah “ketetapan akal”.[9] Sehingga benarlah, jika ada yang mengatakan bahwa kaum mu’tazilah diberi label “pemuja akal”.
D. Lima Ushul yang Diusung Mu’tazilah
Setelah melakukan I’tizal, Wasil kemudian merumuskan beberapa faham baru lain, yang disusun dalam sistem. Ia mengajar dan mengarang di Basra. Lantas mengutus enam muridnya untuk menyebarluaskan sistemnya ke Maghrib, Khurasan, Yaman, Kufa, Armenia dan Iran.
Demikian mu’tazilah berijtihad untuk menyelamatkan alam Islami dari kehancuran, dan sebagai perlawan terhadap paham-paham baru yang mulai menggerogoti alam Islami. Lima prinsipnya kemudian menyebar ke segala penjuru, yang lebih dikenal dengan al-ushul al-khamsah yakni paham Tauhid (keesaan Tuhan); al-‘adl (keadilan Tuhan); al wa’dul wa’id (janji dan ancaman); manzilat antara dua manzilat; dan amar ma’ruf nahi munkar.[10]
Kelima ushul tersebut, menjadi ciri dakwah mu’tazilah, selain ditopang oleh ciri rasionalitas. Dakwah mu’tazilah, memang dilakukan secara konvensional,[11] akan tetapi perkembangannya cukup pesat dan sangat mengagumkan, sebagai pemula filsafat dalam Islam. Berikut penjabaran kelima ushul yang diusung mu’tazilah dalam dakwah Islamiyah mereka;
1. At-Tauhid
Mu’tazilah mengajarkan faham ketuhanan Aristoteles, yaitu kesatuan transenden Allah.[12] Mereka mengakui bahwa Allah wahid (tauhid=pengesaan), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak berteman (syarika); Allah bukan substansi, bukan person, bukan aksidens; tiada pada Allah warna, rasa, panas, dingin, tinggi, rendah; Dia tidak tersusun; ia tidak dalam ruang, tidak dalam waktu; ia tidak bergerak, tidak beristirahat; tiada padaNya kiri, kanan, atas, bawah, depan belakang. Allah ada sebelum penciptaan alam, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan “لم يلد ولم يولد” tidak ada yang abadi kecuali Dia “كل شئ هالك إلاوجهه” serta pengecualian-pengecualian lainnya, yang mendukung pentauhidan Allah.
Selain itu, ayat “ليس كمثله شئ” merupakan dalil yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa Allah tidak boleh diberi atribut-atribut kemakhlukan ataupun insani.
Begitulah mu’tazilah memurnikan konsep ilahi dari segala macam antropomorfisme, mengosongkannya dari setiap perbaindingan. Mu’tazilah mempertahankan transendensi Allah yang mutlak (tanzih), dengan ta’til ingkaran setiap tashbih (perbandingan) dan ta’wil, menafsirkan ayat-ayat Qur’an yang agaknya menunjukkan tashbih sebagai bahasa kiasan (allegories).
Sesuai dengan asas itulah, mu’tazilah menolak bahwa Allah bersifat, sifat-sifat Allah seperti kudrat, iradat, ilmun, hayat, dan kalam, sami’ (pendengaran) bashar (penglihatan), yaitu ketujuh sifat ma’ani yang dianggap berbeda dari wujud Allah semuanya dan seluruhnya diingkari. Ajaran sunni tentang ilmu sifat, yang menetapkan bilangan sifat Allah, dinilai sebagai suatu ajaran poletheis (syirik). Bila Allah dikatakan di dalam Al-Qur’an, sebagai dzat yang berkemauan, berilmu, mendengar dan lain sebagainya, tidak lain hanya sebagai pembuktian keberadaan Allah.
2. Al-‘Adl (Keadilah Tuhan)
Aliran-aliran semisal Jabariyah, Khariji, Jahm bin Safwan, percaya bahwa Allah di atas dan di luar keadilan. Pendapat bahwa Allah berbuat adil kepada makhluknya, bagi mu’tazilah adalah sesuatu yang membatasi ruang gerak dan kekuasaan Allah. Mereka berpijak pada ayat yang berbunyi “إنا ربكم فعال لما يريد” Sesungguhnya Rabbmu (Allah) berbuat sesuai kehendaknya.
Dapat dipahami, bahwa apabila dalil di atas dipahami secara baik, bahwa Allah melakukan sesuatu atas dasar kesewenangan, Allah adalah Tuhan yang demonis dan sadis. Maka dari itu, mu’tazilah demi melawan pemahaman mereka, menetapkan bahwa Allah adil dan wajib adil. Tiada takdir buta (predestinisasi) tanpa ikhtiar manusia. Menyaksikan bahwa Allah adil, berarti Allah maha baik. Selalu menepati kewajibannya; tidak menghukum anak karena dosa orang tuanya, tidak menuntut amal manusia di atas kemampuannya. Memberi pahala kepada manusia, apabila berbuat baik dan beramal sholeh dan memberikan iqob dan hukuman kepada orang yang berbuat maksiat dan berbuat salah.
Asas tauhid dan keadilan ilahi merupakan kedua tonggak filsafat mu’tazilah sampai mereka menyebut diri mereka sebagai “ahlu tauhid wal ‘adl”.[13] Dengan kedua Asas tersebut, kaum mu’tazilah mampu melenyapkan kemasygulan yang mengancam iman umat Islam dalam lika-liku kesyirikan dan fatalisme.
3. Al-Wa’du Wal Wa’ied (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini, merupakan penjabaran tentang pahala dan dosa, yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang beramal sholeh dan melanggar syariah Allah.
Janji dan ancaman ini, memiliki arti bahwa keadilan Allah dibentengi oleh janji dan ancaman. Agar manusia mampu memijakkan kakinya pada pijakan dan tindakan yang tepat, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan kejahatan dan kefasikan. Bagi mereka yang melakukan dosa besar dan kefasikan, agar segera bertaubat kepada Allah.
Dari sini, dapat diartikan bahwa ketetapan janji dan ancaman Allah sangatlah berlaku bagi makhluknya. Allah sangat jujur kepada makhluknya. Pahala dan ganjaran yang sepadan akan diberikan oleh Allah kepada makhluknya yang berlaku baik dan yang berlaku jahat. Ini merupakan hukum dan hukuman yang menegakkan keadilan, maka tidaklah ada seorang manusia apapun jabatan dan kedudukannya dapat mengampuni dan menhgapusi dosa seorang manusia dengan cara bagaimanapun juga.[14]
Ushul ketiga ini, sebenarnya merupakan ushul lanjutan dari al-‘adlu, jadi keadilan selalu menghendaki agar orang yang berbuat dosa diberi ancaman berupa hukuman dan orang yang beramal sholeh diberi janji berupa pahala.
4. Manzilat Antara Dua Manzilat (Manzil Menengah)
Kaum khariji membedakan orang mu’min dan orang kafir secara mutlak. Bagi mereka, hanya terdapat dua golongan atau manzil manusia. Apabila seorang muslim melakukan dosa besar, ia dinyatakan telah keluar dari Islam dan menjadi musyrik, sehingga harus dibunuh. Lebih fanatik lagi, aliran azaariqoh yang menilai setiap dosa, sekalipun kecil, merupakan bukti kemusyrikan; anak dan istri seorang musyrik, walaupun muslim, maka dia dianggap musyrik juga dan harus dibunuh.
Melawan mereka, mu’tazilah menetapkan adanya kedudukan menengah antara seorang muslim dan musyrik: manzilat antara dua manzilat, yaitu seorang fasiq, atau muslim berdosa. Bila dia tidak bertobat, ia masuk neraka kekal, walaupun hukuman tidak seberat seperti kafir tulen. Bagi mu’tazilah, seorang fasiq, dalam hidupnya masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karenanya tidak halal membunuhnya atau putusan perlu ditangguhkan, agar mampu melakukan taubat.
5. Amar Ma’ruf
Seperti halnya keempat ushul di atas, mu’tazilah yang banyak paham (mengerti) akan ajaran Aristoteles, lebih banyak mengusung filsafat etik Aristoteles: terlepas dari wahyu akal manusia dapat membedakan baik dan buruk dan wajib melakukan yang baik. Dalam ushul ini, mu’tazilah menolak theokrasi, voluntarisme, positivisme hukum, dan menegaskan hukum tabiat, moral, dan sosial. Kepala ummat atau imam, harus menyeru dan mewajibkan kepada ummatnya agar mengorientasikan diri pada perbuatan baik.
Masing-masing warga ummat harus menjauhkan diri dari kejahatan seperti mencuri, minum anggur, dan berbuat zinah. Termasuk juga dalam amar ma’ruf, kegiatan dakwah Islamiyah dengan penyiaran secara lisan, tangan ataupun pedang sesuai kemungkinan yang ada. Ajaran itu kemudian dicocokkan dengan Al-Qur’an: “الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر” (3/110). Manusia punya potensi untuk berbuat baik dan istitha’at (potentia obedientalis), kemampuan untuk memajukan kepentingan umum atau maslahat. Jelaslah bahwa para mu’tazilin membaca Al-Qur’an dengan kacamata rasionalis.
Kelima ushul pokok tersebut merupakan ajaran yang disetujui oleh semua mu’tazili. Berbeda halnya dengan atomisme. Di Bashra, Abu Hudayl Al-Allaf (wafat 841) membenarkan atomisme, sedang Ibrahim Al-Nazzam (wafat 845) menentangnya. Hal ini terjadi, karena mu’tazili juga memperbincangkan soal-soal lain yang disebut daqiq al-kalam, yang meliputi keterangan mengenai benda, substansi, atom, sebab, gerakan dan psikologi.
E. Maju Mundurnya Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai aliran yang mengajarkan paham-paham baru, terutama masalah teologi, mendapat perlawanan besar dari beberapa ulama tradisionalis. Terjadilah tuding-menuding akan penafsiran Al-Qur’an, sehingga membuat keamanan Negara merana.
Khalifah Abdallah Al-Ma’mun (813-833), putra Harun Ar-Rasyid, mengambil keputusan untuk mengangkat ajaran mu’tazilah sebagai ajaran Negara.
Namun tidak lama kemudian Khalifah Mutawakkil yang dimotivasi oleh hasutan kelompok anti mu’tazilah, memutarbalikkan keadaan, dogma irrasionil tentang I’jazul Qur’an diputarbalikkan sebagai dasar Nagara. Pusat pengajaran mu’tazilah dibongkar.

Sumber: http://choisety.wordpress.com/2009/10/18/nuansa-filsafat-dakwah-di-dalam-teologi-mu%E2%80%99tazilah/

Sosiologi Agama

A. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.

Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

Sumber Acuan:
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.

Hakekat Kewirausahaan

Anda tentu sering mendengar tentang kata “Wirausaha”, “Kewirausahaan” maupun “Wirausahawan” Apakah yang dimaksud dengan “Wirausaha”, “Kewirausahaan” maupun “Wirausahawan” tersebut? Dan apakah beda ketiga kata tersebut?

Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber dayasumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses.

Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan seorang Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatankesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan.

Intinya, seorang Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki jiwa Wirausaha dan mengaplikasikan hakekat Kewirausahaan dalam hidupnya.

Orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.

Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawan pun dimiliki oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980).

Wirausahawan adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997) Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha (Suryana, 2001).

Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing.

Menurut Zimmerer (1996:51), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:
Pengembangan teknologi baru (developing new technology)
Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)
Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services)
Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources)

Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di luar wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan, pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya.

Dengan demikian, ada enam hakekat pentingnya Kewirausahaan, yaitu:

Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994)
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997)
Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.
Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker, 1959)
Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996)
Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.

Ditulis oleh Izzati Amperaningrum, SE, MM & Dr. Zuhad Ichyaudin, MBA.
Demikianlah artikel mengenai Hakekat Kewirausahaan
Semoga Bermanfaat..

RETORIKA DAKWAH

RETORIKA
Oleh Primi Rohimi, S.Sos.*


I. PENDAHULUAN
Ada pandangan dalam masyarakat bahwa kemampuan seseorang berbicara di depan umum adalah bakat bawaan dari lahir dan hanya dimiliki oleh orang - orang tertentu saja. Berbicara di depan umum/ public speaking, baik itu dalam acara pernikahan, ulang tahun, peresmian kantor, acara penghargaan, pidato sambutan, kesaksian produk/ kesuksesan dan lainnya menjadi momok yang begitu menakutkan bagi sebagian besar orang, bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia.
Beberapa manajer / eksekutif / owner perusahaan, leader Network marketing, pimpinan organisasi yang sempat saya temui, mengatakan mereka tidak berbakat / tidak bisa berbicara di depan umum dan cenderung kalau bisa menghindari berbicara di depan umum. Yang lebih parah lagi adalah para pelajar / mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa ini, hampir sebagian besar yang saya jumpai tidak tertarik dengan yang namanya Seminar / Pelatihan. Alasan mereka sederhana saja, karena dalam bayangan mereka acara seperti itu membosankan.
Dalam dunia pendidikan, mereka menerima pelajaran dari sekolah dengan pengajar yang pintar tapi kurang bisa menjabarkan materi (membawakan materi secara konservatif) hingga membuat mereka begitu bosan bahka latih, mereka tidak pernah membayangkan bahwa ternyata pelatihan / seminar yang disampaikan oleh tim MPI begitu menyenangkan dan penuh arti.
Benarkah keahlian berbicara di depan umum/public speaking adalah bakat ?
Ada ungkapan bijak mengatakan bahwa Bakat itu 1 %, 99 % lainnya adalah Ketekunan dan Cara / metode.
Kita semua dilahirkan ke dunia ini untuk pertama kalinya adalah Menangis, tidak ada satu bayi pun secara normal lahir sudah bisa berbicara. Baru pada bulan-bulan selanjutnya bayi mulai belajar mengeluarkan bunyi-bunyi yang membentuk penggalan kata. Setiap hari bayi mendengar kata demi kata dari lingkungan sekitar bayi. Saat itulah bayi tersebut sebenarnya sedang belajar untuk berbicara. Kalau kitan frustasi. Tetapi kesan yang selalu saya dapat di puluhan sekolah / organisasi yang pernah saya perhatikan bayi / anak kecil yang lingkungannya kurang mengajaknya untuk berbicara, cenderung akan lebih lambat untuk benar-benar bisa berbicara, begitu pula sebaliknya.Dan untuk anak-anak yang normal, saat usia di atas 2 tahun kemampuan berbicaranya akan semakin baik. Ini semua menggambarkan bahwa metode belajar diikuti ketekunan akan membuat setiap orang bisa berbicara. Begitu pula dengan berbicara di depan umum bila anda tahu caranya, mau mempraktekkan caranya secara tekun, pasti ANDA AKAN BISA. TERAMPILKAN KEMAMPUAN PUBLIC SPEAKING ANDA, PERCAYALAH KEHIDUPAN PRIBADI & KARIR ANDA AKAN SEMAKIN BERKEMBANG

II. NILAI DASAR TERAMPIL BERBICARA DI DEPAN UMUM
Apakah belajar Public Speaking begitu sulit ? Kalau jawaban anda bahwa belajar Public Speaking itu sulit, tentu akan jauh lebih sulit lagi untuk melakukan Public Speaking ( Berbicara di depan umum ). Sebagian besar orang yang kesulitan berbicara di depan umum ( Public Speaking ) berasal dari cara berpikir yang kurang benar. Cara berpikir yang cepat sekali menvonis, menilai segala sesuatu itu benar atau salah, 0 atau 100. Cara berpikir konservatif seperti itu seharusnya ditinggalkan Peningkatan kecerdasan manusia yang terus menerus terjadi menyadarkan kita bahwa segala sesuatu itu relatif adanya. Di pandang dari sudut manusia, tidak ada nilai mutlak, tidak ada benar semua atau salah semua. Segala sesuatu yang akan anda lakukan bermula dari apa yang anda pikirkan. Demikian pula dalam hal Public Speaking. Ketakutan untuk Public Speaking bisa melanda siapa saja;muda tua dan apapun profesinya;pelajar, mahasiswa, sekretaris, guru, dosen, networker, agen asuransi, manager, direktur, pemilik usaha dan lainnya.
Adapun Nilai dasar sukses yaitu :
1. Mengerti tujuan
Public Speaking adalah salah satu bagian dari komunikasi. Anda harus memahami bahwa tujuan komunikasi adalah supaya orang lain mengetahui apa yang anda sampaikan, melaksanakan apa yang anda mau, mengikuti apa yang anda katakan. Setiap profesi punya tujuan yang berbeda dalam Public Speaking. Tentu seorang MC punya tujuan yang berbeda dengan seorang Sekretaris, seorang Motivator dalam berbicara di depan umum. Begitu juga dengan seorang pelawak, guru, pemilik usaha, manager atau dosen. Jadi tanyakan pada diri anda, apa profesi anda dan apa tujuan anda berbicara di depan umum ? ( Public Speaking )
2. Keyakinan
Tidak ada sesuatu apapun yang bisa berhasil dengan baik, jika tak ada keyakinan yang ada pada diri anda. Keyakinan bahwa anda bisa berbicara di depan umum sebenarnya anda sudah 50 % bisa berbicara di depan umum. Bagaimana cara anda meyakinkan bahwa anda bisa berbicara di depan umum ? Belajar melihat dari pengalaman orang lain, seperti saya misalnya.Lalu belajar dari pengalaman sendiri. Apakah anda pernah tahu bahwa saat anda lahir pertama kali di dunia, sesungguhnya anda hanya bisa menangis;sakit menangis, lapar menangis, kepanasan menangis, kedinginan menangis, ditinggal menangis. Saat itu yang bisa anda lakukan hanya itu saja bukan?. Tetapi waktu berjalan dan anda mulai meniru orang-orang sekitar anda berbicara, lalu perlahan tapi pasti, akhirnya anda bisa berbicara begitu lancar seperti hari ini. Public Speaking juga demikian, anda bertemu dengan mentor/guru yang tepat, lalu anda mulai belajar, tanamkan keyakinan dan saya pastikan anda pun akan bisa.
3. Semangat
Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang bisa berhasil tanpa adanya semangat. Bahkan anda lahir di dunia ini bukankah karena ada semangat?. Ketika semangat muncul di dalam diri anda, maka energi akan mengalir ke seluruh tubuh anda, dan sesaat kemudian tubuh anda mulai terasa hangat. Rasa hangat ini menandakan kehidupan terus berlangsung. Bandingkan sebaliknya saat anda bangun tidur, anda loyo, maka seharian juga akan loyo. Semangat dalam Public Speaking pun sedikit demi sedikit akan mengurangi rasa grogi, rasa gugup kita.
4. Rasa gembira / bahagia
Bagaimana saatnya saat pertama kali anda jatuh cinta? Saat pertama kali anak anda lahir ?,
saat pertama kali anda diterima bekerja dan sebagainya ? Jawaban sederhananya pasti muncul rasa senang/bahagia?. Belajar Public Speaking juga begitu. Anda tidak akan pernah bisa mencapai hasil yang menggembirakan selama anda tidak gembira. Selama beban ketakutan, kecemasan, bayang bayang ditertawakan, dikritik, dicaci muncul dalam pikiran anda, selama itu pula sebenarnya anda akan kehilangan bahan-bahan yang anda pikir sudah anda kuasai. Anda harus pahami bahwa pikiran anda hanya memunculkan 1 hal dalam 1 waktu saat anda berpikir. Artinya anda punya pilihan ketika sedang berbicara di depan umum, takut atau bahagia ?. Saya sering katakan kepada murid-murid saya bahwa ketika mereka maju ke depan, lalu orang-orang menertawakan mereka, sebenarnya saat itu mereka sedang berbuat kebajikan. Ya karena bisa menyenangkan orang lain itu pun kebajikan. Bayangkan mungkin saja orang-orang tersebut sudah seminggu tidak tertawa karena bertengkar dengan pasangannya, stress karena putus cinta, baru dimarahin bos dan sebagainya. Kalau anda bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, maka tentu kemajuan anda dalam segala bidang akan tumbuh begitu pesat. Jadi tumbuhkan rasa gembira/bahagia saat anda melakukan apapun juga.
5. Jangan Takut Menjadi Orang Takut !
Siapakah yang tidak pernah melakukan keburukan/kesalahan sedikitpun? Semua orang pernah merasakan kesalahan dan berakibat ketakutan pada diri kita, meskipun dia yang kita kenal sekarang adalah orator ulung. Kita semua mungkin, pernah gemetar dan berkeringat dingin serta jantung berdegup kencang ketika di suatu ruangan kuliah,rapat atau seminar kita diminta untuk berpidato. Atau agar tidak ditunjuk kita sengaja menundukkan kepala dan tidak menatap si pembicara. Tahukah kita yang menyebabkan demikian? Ada tiga hal yang membuat kita takut dalam berpidato di depan orang banyak (publik) : ketakutan, sempitnya wawasan dan sedikit pengalaman. Tiga hal tersebut bukanlah masalah hanya kendala yang dapat di antisipasi oleh diri kita sendiri.
Tips ‘PeDe’ (Percaya Diri)
1. Cari penyebab kenapa (kita) rendah diri (Intelegence Analysis)
2. Atasi kelemahan (Weakness)
3. Kembangkan bakat kita (Strong)
4. Nikmati setiap keberhasilan (Syukur Nikmat)
5. Bebas diri kita dari opini orang lain (Impression)
6. Kembangkan bakat melalui hobby
7. Cita-cita yang tinggi
8. Jangan terlalu membandingkan dengan orang lain
9. Membuat motto hidup
10. Mulai dari yang terkecil
11. Mulai dari diri kita
12. Mulai saat ini juga

III. RETORIKA MODERN
(Disarikan dari buku Retorika Modern karya Jalaluddin Rakhmat, Rosdakarya Bandung, 1999)

ENAM LANGKAH PERSIAPAN BERPIDATO
1. menentukan maksud atau tujuan berpidato
2. menjajaki situasi dan latar belakang pendengar/audiens
3. memilih topik
4. mengumpulkan bahan/materi pidato
5. menyusun dan mengembangkan kerangka pidato
6. melatih diri

TUJUAN BERPIDATO
1. menyampaikan informasi (informatif)
2. mempengaruhi (persuasif)
3. menghibur (rekreatif)

JENIS-JENIS PIDATO (menurut persiapannya):
1. Impromptu (spontan). Keuntungan:• dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya,• dapat membuat si pembicara terus berpikir,• dapat membuat suasana menjadi segar dan hidup karena apa yang diungkapkan bersifat spontan. Kerugian:• dapat menimbulkan kesimpulan mentah karena pengetahuan tidak memadai,• dapat mengakibatkan penyampaian yang tersendat dan tidak lancar,• dapat menyebabkan demam panggung sehingga gagasan yang disampaikan “acak-acakan” dan ngawur
2. Naskah/Manuskrip. Keuntungan:• dapat menyampaikan isi pidato secara jelas,• dapat lebih fasih berbicara, dapat menghindari hal-hal yang ngawur dan menyimpang dari isi pidato,• dapat diperbanyak/diterbitkan. Kerugian:• dapat mengurangi komunikasi dengan pendengar,• dapat membuat suasana menjadi kaku. Hal-hal yang dapat dilakukan:• gunakan gaya percakapan yang lebih informal dan langsung,• baca naskah berkali-kali sambil membayangkan pendengar,•hafalkan sekadarnya sehingga Anda dapat lebih sering melihat pendengar, ketik dengan jenis huruf yang mudah dibaca.
3. Memoriter/Menghafal. Keuntungan:• dapat menyampaikan isi pidato secara jelas,• dapat lebih fasih berbicara, dapat menghindari hal-hal yang ngawur dan menyimpang dari isi pidato. Kerugian:• dapat mengurangi komunikasi dengan pendengar,• dapat membuat suasana menjadi kaku.• BAHAYA: lupa terhadap apa yang telah dihafalkan!
4. Ekstemporan. Pidato disiapkan dalam bentuk garis besar (outline) sebagai pedoman untuk mengatur gagasan. Keuntungan:• dapat berkomunikasi langsung dengan pendengar,• dapat menyampaikan pesan lebih fleksibel. Kerugian (bagi pemula):• dapat mengurangi kefasihan,• dapat mengakibatkan penyampaian yang tersendat dan tidak lancar

SUMBER-SUMBER TOPIK
1. Pengalaman pribadi
a. perjalanan
b. tempat yang pernah dijunjungi
c. wawancara dengan tokoh
d. peristiwa luar biasa, lucu, dll.
2. Hobi dan keterampilan
a. cara melakukan sesuatu
b. peraturan dan tata cara tentang hobi dan keterampilan
3. Pengalaman pekerjaan atau profesi
a. pekerjaan tambahan
b. profesi keluarga
4. Pelajaran sekolah atau kuliah
a. hasil penelitian
b. hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut
5. Pendapat pribadi
a. kritik terhadap buku, pendapat orang, dll.
b. hasil pengamatan pribadi
6. Peristiwa hangat dan pembicaraan publik
a. berita media massa
b. peristiwa di sekeliling kita
7. Masalah abadi
a. agama
b. pendidikan
c. persoalan masyarakat yang belum selesai
8. Kilasan biografi
a. biografi orang-orang terkenal
9. Kejadian khusus
a. perayaan/peringatan agama, nasional, dll.
10. Minat Khalayak
a. pekerjaan
b. hobi
c. rumah tangga
d. pengembangan diri
e. kesehatan dan penampilan
f. dll.

KRITERIA TOPIK YANG BAIK
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda.
2. Topik harus menarik minat Anda.
3. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar.
4. Topik harus menarik minat pendengar.
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi.
7. Topik harus ditunjang dengan bahan/referensi yang memadai.

PENGEMBANGAN GAGASAN
1. penjelasan (definisi)
2. contoh
3. analogi
4. testimoni (pernyataan ahli)
5. statistik
6. perulangan

KOMPOSISI PIDATO
1. kesatuan: isi, tujuan, sifat pembicaraan
2. pertautan (koherensi)
a. ungkapan penghubung
b. paralelisme
c. sinonim

MEMILIH KATA
1. Kata-kata harus jelas
a. Gunakan kata-kata yang sederhana, lazim digunakan, dan tidak berbunga-bunga.
b. Gunakan perulangan gagasan dengan kata yang berbeda.
c. Hindari istilah teknis.
2. Kata-kata harus tepat
3. Kata-kata harus layak

MENGURANGI RASA CEMAS
• Siapkan bahan pidato
• Datanglah lebih awal dari jadwal yang telah ditetapkan.
• Kenalilah lingkungan tempat berpidato dan audiens terlebih dahulu.
• Lakukan pemanasan dan pelatihan yang cukup (secara tidak mencolok).
• Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

HAL-HAL YANG DILAKUKAN KETIKA AKAN MEMULAI BERPIDATO
• Rapikan pakaian dan penampilan sebelum maju berpidato.
• Ambil napas perlahan-lahan.
• Pegang dan ketuk secara perlahan mikrofon untuk memastikan bahwa mikrofon/pengeras suara sudah “on”.
• Tataplah secara sekilas audiens.
• Baca bismillah perlahan dan mulailah menyapa audiens dengan salam.

HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARI KETIKA BERPIDATO
• Jangan bersin atau batuk di depan mikrofon. Setelah itu, ucapkanlah “maaf”.
• Jangan hanya memandang satu arah.
• Jangan pula memandang ke atas atau ke bawah.
• Jangan terlalu keras atau terlalu lemah berbicara.
• Jangan berlebihan dalam menggerakkan tangan.
• Jangan sering menggerakkan badan ke kiri/kanan atau ke depan/belakang.
• Jangan menunjukkan wajah bersedih ketika berpidato dalam suasana bergembira, dan sebaliknya.
• Jangan tergesa-gesa berbicara sehingga banyak ucapan yang “terpeleset”.
• Jangan menggunakan suara leher.
• Jangan menggaruk-garuk kepala/badan dan mempermainkan kancing baju.
• Jangan mengucapkan kata-kata asing yang tidak tepat cara pengucapannya.
• Jangan salah memenggal kata atau kalimat jika membaca naskah.
• Jangan menggunakan waktu lebih dari yang ditentukan.
• Jangan menggunakan lelucon yang berbau SARA dan saru (porno).

Psikologi Dakwah

1. Pendahuluan
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah dengan membawa tugas dan amanah yang sangat berat. Salah satu tugas manusia di bumi ini adalah sebagai khlaifah fil ardl. Setiap manusia memiliki tugas sebagai pemimpin. Di mana seorang pemimpin itu harus mampu menciptakan ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Membenarkan atau mengarahkan segala sesuatu yang dirasa belum baik dan tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah selaku Sang Khalik. manusia memiliki tugas untuk menyeru kepada manusia yang lain yang belum sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Manusia memiliki kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar (baca: dakwah).
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai dai tentu saja kita ingin mencapai kesuksesan dalam mencapai tugas dakwah. Salah satu bentuk keberhasilan dalam dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang. Dari tidak cinta Islam menjadi cinta, dari tidak mau beramal saleh menjadi giat melakukannya, dari cinta kemaksiatan menjadi benci dan tertanam dalam jiwanya rasa senang terhadap kebenaran ajaran Islam, begitulah seterusnya.
Karena dakwah bermaksud mengubah sikap kejiwaan seorang mad’u, maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting. Dengan pengetahuan tentang psikologi dakwah ini, diharapkan kita dapat melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan. Rasul Saw. Dalam dakwahnya memang sangat memperhatikan tingkat kesiapan jiwa orang yang didakwahinya dalam menerima pesan-pesan dakwah.
Saat ini banyak sekali fenomena-fenomena negatif yang terjadi di sekitar kita, dalam artian, banyak sekali umat manusia yang jauh dari apa yang Allah perintahkan kepada manusia itu sendiri. tugas lain dari manusia adalah beribadah kepada Allah. bukan hanya manusia saja, tapi jin juga malaikat. Tapi masih banyak sekali manusia yang belum menjalankan tugasnya, maka di sinilah juga tugas kita manusia (baca: da’i) untuk meluruskan hal-hal yang seperti itu dan mengajak mereka yangbelum menjalankan perintah Allah untuk melaksanakannya. Sebagian besar mereka mungkin memang mengaku sebagai seorang muslim, tapi apakah mereka sudah benar-benar melakukan tugasnya sebagai seorang muslim?
A. Pengertian Psikologi Dakwah
Secara harfiah, psikologi artinya ‘ilmu jiwa’ berasal dari kata yunani psyce ‘jiwa’ dan logos ‘ilmu’. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai gambaran dari keadaan jiwanya. Adapun dakwah merupakan usaha mengajak manusia agar beriman kepada Allah Swt dan tunduk kepada-Nya dalam kehidupan di dunia ini, dimanapun ia berada dan bagaimana pun situasi serta kondisinya.
Dengan demikian, psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gambaran dari kejiwaannya guna diarahkan kepada iman takwa kepada Allah Swt. Bila disederhanakan bisa juga dengan pengertian, dakwah dengan pendekatan kejiwaan.
Pengertian dari Psikologi Dakwah yaitu Psikologi dan Ilmu Dakwah.Pengetahuan tentang Ilmu Jiwa atau Psikologi diperlukan karena Psikologi Dakwah memang merupakan bagian dari Psikologi, yakni Psikologi terapan. Ilmu Dakwah juga sangat relevan karena Psikologi Dakwah ini adalah ilmu bantu bagi kegiatan dakwah. Boleh jadi pengguna ilmu ini adalah Da’I yang psikolog yang suka berdakwah.
A.1 Psikologi
Secara sederhana Psikologi sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya. Sedangkan pengertian atau definisi yang lebih terperinci menyebutkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku lahiriah manusia dengan menggunakan metode observasi secara obyektif, seperti terhadap rangsang (stimulus) dan jawaban (respon) yang menimbulkan tingkah laku.
Definisi tersebut di atas mengesankan bahwa kegunaan psikologi terbatas hanya untuk menguraikan atau mengungkap apa yang ada di balik tingkah laku manusia. Dalam keadaan tertentu, kebutuhan seseorang memang dapat saja terbatas hanya ingin mengetahui faktor kejiwaan apa yang menyebabkan tingkah laku tertentu orang lain, tapi di saat yang lain, misalnya bagi seorang yang sedang merencanakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang di mana banyak kemungkinan bisa terjadi, maka psikologi dapat membantunya meramalkann kira-kira tingkah laku apa yang bakal dilakukan oleh sebagian atau keseluruhan dari orang-orang yang diamatinya.
A. 2 Dakwah
Dalam bahasa Arab, da’wat atau da’watun biasa digunakan untuk arti-arti: undangan, ajakan dan seruan yang kesemua menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak dan upaya mempengaruhi pihak lain. ukuran keberhasilan undangan, ajakan atau seruan adalah manakal pihak kedua yakni yang diundang atau diajak memberikan rspon positif yaitu mau datang dan memenuhi undangan itu. jadi kalimat dakwah mengandung muatan makna aktif dan menantang, berbeda dengan kalimat tanligh yang artinya menyampaikan. Ukuran keberhasilan seorang mubaligh adalah menekala ia berhasil menyampaikan pesan islam dan pesannya sampai (wama ‘alaina illa al balagh), sedangkan bagaimana respon masyarakat tidak menjadi tanggung jawabnya. Dari sini kita juga dapat menyebutkan apa sebenarnya tujuan dari dakwah itu sendiri? Adapun tujuan dari dakwah adalah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang dibawakan oleh aparat dakwah/da’i.
Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa dakwah ialah usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh Da’i. setiap da’i agama pun pasti berusaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan agama mereka.dengan demikian pengertian dakwah islam adalah upaya mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku islami (memeluk agama islam).
Sebagai perbuatan atau aktifitas, dakwah adalah peristiwa komunikasi di mana da’I menyampaikan pesan melalui lambing-lambang kepada Mad’u, dan mad’u menerima pesan itu, mengolahnya dan kemudian meresponnya. Jadi, proses saling mempengaruhi antara da’I dan mad’u adalah merupakan peristiwa mental. Dengan mengacu pada pengertian psikologi, maka dapat dirumuskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.


Sasaran Dakwah
Sehubungan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, bila dari aspek kehidupan psikolgis, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah berbagai permasalahan yang menyangkut sasaran bimbingan atau dakwah perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat ilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
3. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial cultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.
4. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
5. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari okupasinal (profesi, atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri (administrator).
6. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
7. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin berupa golongan wanita, pria dan sebagainya.
8. Sasaran berhubungan dengan golongan dilihat dari segikhusus berupa golongan masyarakat tunasusila, tunawisma, tuna karya, naarapidana dan sebagainya.
Dan jika disebutkan secara general, sasaran dakwah ini adalah meliputi semua golongan masyarakat. Walaupun masyarakat ini berbeda dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus dan tentunya juga memerlukan cara-cara yang berbeda-beda dalam berdakwah, perlu kita lihat dulu siapa mad’unya, dari golongan mana agar apa yang akan kita dakwahkan dapat diterima dengan baik oleh mad’u.
Dakwah Psikologis
Dakwah psikologis atau dakwah yang dilakukan dengan pendekatan jiwa memang sangat penting, turunnya ayat Al Quran secara bertahap merupakan suatu bukti bahwa pendekatan kejiwaan merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan, begitu pula dengan berbagai peristiwa dakwah yang dialami oleh Rasul Saw. Mislanya dalam turunnya ayat dilarangnya minum khamar, Allah membuat tiga tahapan:
- peringatan tentang mudharat-nya (Qs. 2: 219)
- pelarangan sholat dalam keadaan mabuk (4:43)
- perintah menjauhi khamar (5:90)
SIKAP MENTAL DAI
Di atas sudah disebutkan bahwa dakwah merupakan usaha mengubah sikap kejiwaan seseorang dari tidak islami kepada sikap yang islami. Untuk itu, orang yang berdakwah harus memiliki sikap mental yang baik dan ini harus bertul-betul terealisasi dalam kehidupannya sehari-hari. Sikap mental ini antara lain sebagai berikut:
(1) Memiliki kecintaan kepada ajaran Islam, sehingga dalam kapasitasnya sebagai dai, seorang telah merealisasikan pesan-pesan dakwahnya dalam kehidupan nyata. Bila tidak, terdapat hambatan psikologis untuk diterimanya pesan-pesan dakwah oleh madú, bahkan bisa mengakibatkan hilangnya kewibawaan sebagai dai dan di hadapan Allah Swt, ia mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah Swt berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (As-Shaff:2)
(2) Lemah lembut kepada madú-nya agar mereka senang dan mau menerima pesan-pesan dakwah serta mengikuti jalannya. Bila bersikap sebaliknya, yakni bengis dan kasar, kemungkinan besar yang terjadi adalah dai dijauhi madú nya. Ini pula yang dicontohkan oleh Rasul Saw dalam berbagai peristiwa, sehingga mereka yang semula memusuhi berubah menjadi pendukung-pendukung yang setia.
(3) Bersikap sabar dan optimis dalam dakwah
(4) Menggunakan cara yang baik dan benar dalam berdakwah, sehingga secara psikologis dakwah akan mendapat simpati mereka yang semula tidak suka dan tidak ada alasan untuk menuduh para dai dengan tuduhan yang tidak benar.
B. Ruang Lingkup Psikologi Dakwah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kalimat da’watun dapat diartikan dengan undangan, seruan atau ajakan, yang kesemuanya menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak di mana pihak pertama (da’i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi pihak kedua (mad’u). pengalaman berdakwah menunjukkan bahwa ada orang yang cepat tanggap terhadap seruan dakwah ada yang acuh tak acuh dan bahkan ada yang bukan hanya tidak mau menerima tetapi juga melawan dan menyerang balik.
Proses penyampaian dan penerimaan pesan dakwah itu dilihat dari sudut psikologi tidaklah sesederhana penyampaian pidato oleh da’i dan didengar oleh hadirin, tetapi mempunyai makna yang luas, meliputi penyampaian energi dalam sistem syaraf, gelombang suara dan tanda-tanda. Ketika proses suatu dakwah berlangsung, terjadilah penyampaian energy dari alat-alat indera ke otak, baik pada peristiwa penerimaan pesan dan pengolahan informasi, maupun pada proses saling mempengaruhi dari kedua belah pihak.
C. Pusat Perhatian Psikologi Dakwah
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pusat perhatian psikologi terhadap terhadap proses dakwah sekurang-kurangnya meliputi empat hal:
1. Analisa terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam proses dakwah kepada da’I, psikologi dakwah melacak sifat-sifatnya dan mempertanyakan; mengapa da’i A berhasil mempengaruhi orang-orang yang didakwahi sedang da’i B kok tidak. Tentang mad’u (dn juga da’i) sebagai manusia, sifat-sifatnya dan faktor-faktor apa (internal dan eksternal) yang mempengaruhi perilaku komunikasinya.
2. Bagaimana pesan dakwah menjadi stimulus yang menimbulkan respon mad’u
3. Bagaimana proses penerimaan pesan dakwah oleh mad’u, faktor-faktor apa (personal dan situasional) yang mempengaruhinya.
4. Bagaimana dakwah dapat dilakukan secara persuasive, yaitu proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku mad’u dengan pendekatan psikologis atau dengan menggunakan cara berpikir dan cara merasa mad’u.

D. Pendekatan Psikologi Dakwah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sebagai kegiatan adalah peristiwa komunikasi. Komunikasi menarik perhatian banyak disiplin ilmu, dengan pendekatan yang berbeda-beda. Sosiologi misalnya, mempelajari komunikasi dalam konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Dalam pandangan sosiolog, komunikasi adalah proses megubah kelompok manusia menjadi kelompok manusia yang berfungsi.
Menurut teori komunikasi, (fisher, 1978, hal 136-142), proses dakwah dapat dilihat sebagai kegiatan psikologis yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, diterimanya stimuli (ranngsang) oleh organ-organ penginderaan, berupa orang, pesan, warna atau aroma.
Kedua, rangsang yang diterima mad’u berupa-rupa, warna, suara, aroma dan pesan dakwah yang disampaikan da’i da’i itu kemudian diolah di dalam benak mad’u (hadirin), dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa lalu masing-masing dan disimpulkan juga oleh masing-masing. Meskipun pesan dakwah oleh da’i itu dimaksudkan A, tapi kesimpulan mad’u boleh jadi B, C, atau D.
Ketiga, untuk merespon terhadap ceramah atau seruan ajarkan da’i (misalnya tepuk tangan, berteriak, mengantuk atau karena bosan kemudian meninggalkan ruangan), pikiran hadirin bekerja, mengingat-ingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dari memori itu para hadirin kemudian meramalkan bahwa jika hadirin melakukan tindakan X, maka da’i akan melakukan tindakan Y. jika X maka Y.
Ketiga, setelah itu barulah hadirin akan merespon terhadap ajakan da’i, dan respon dari, dan respon dari hadirin itu merupakan umpan balik bagi da’i.
Sebenarnyalah bahwa dalam proses dakwah, dalam arti interaksi sosial antara da’i dan mad’u sekurang-kurangnya terkandung tiga makna:
1. Bahwa, baik da’i maupun mad’u sebenarnya terlibat dalam proses belajar, baik dari segi berpikir maupun dari sudut merasa. Mad’u belajar kepada da’i, tapi da’i juga belajar kepada umpan balik yang disampaikan oleh mad’u.
2. Antara da’i dan mad’u terjadi proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang dalam berkomunikasi (tepuk tangan lambing suka, gaduh dan ngantuk lambang penolakan)
3. Adanya mekanisme penyesuaian diri antara da’i dan mad’u. bentuk penyesuaian diri itu bisa permainan peranan,identifikasi, atau agresi. Jika hadirin ramai-ramai meninggalkan tempat acara atau berbicara sendiri atau mengantuk semua, padahal mubalighnya masih pidato di atas mimbar, maka apa yang dilakukan hadirin menurut pandangan psikologi sebenarnya merupakan penyesuaian diri dari ceramah yang tidak komunikatif.
Proses dakwah dikatakan berhasil dan efektif ketika tujuan dari dakwah itu sendiri telah tercapai. Tercapainya tujuan dakwah ada beberapa tahap, antara lain:
a. Tahap kognitif, adalah ketika seorang mad’u mampu menangkap, mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh seorang da’i.
b. Tahap afeksi, adalah tahap berikutnya setelah tahap kognitif. Pada tahap ini, seorang mad’u diharapkan mampu merasakan dan merenungkan secara lebih mendalam apa yang telah disampaikan oleh da’i, tidak hanya sekedar memikirkan saja
c. Tahap psikomotor, adalah tahap di mana seorang mad’u telah mampu mengaplikasikan atau menjalankan apa yang sebelumnya telah disampaikan oleh seorang da’i, dan setelah mad’u melakukan perenungan secara mendalam. Sehingga kesadaran benar-benar muncul dalam diri seorang mad’u tentang apa sesungguhnya kewajibannya terhadap Tuhannya, apa seungguhnya tugas dan kewajibannya di dunia ini agar pada saat menjalankan tugas dan amanahnya, seorang mad’u benar-benar melakukan dengan berdasarkan kesadarannya sendiri.
E. Tujuan Psikologi Dakwah
Oleh karena psikologi dakwah mempedomani kegiatan dakwah, maka tujuan psikologi dakwah adalah: memberikan pandangan tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental psikologis sasaran dakwah sesuai dengan pola/pattern kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran agama yang didakwahkan/diserukan oleh aparat dakwah/da’i


Kesimpulan
Dari penjelasan tentang psikologi dakwah di atas dapat kita lihat bahwa erat sekali hubungan antara psikologi dengan dakwah.
- Karena ketika seseorang berdakwah (da’i) maka ia perlu bahkan harus mengetahui kondisi psikologis obyek yang didakwahi (mad’u) agar apa yang disampaikan nantinya dapat tersampaikan dengan baik. Karena dakwah itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi orang lain agar mau merubah tingkah lakunya dan mengikuti sesuai dengan yang disyari’aykan oleh agama (islam).
- Dalam mempengaruhi orang lain agar orang lain dapat mengikuti apa yang kita inginkan maka kita harus melakukan beberapa pendekatan, dan bisa dibilang pendekatan psikologis adalah pendekatan yang paling penting dan yang paling berpengaruh apakah nantinya orang lain (mad’u) itu dapat menerima apa yang disampaikan oleh Da’i dan menjalankannya.
- Perlu kita ketahui juga bahwasannya tujuan utama dari dakwah adalah bagaimana nantinya seorang mad’u dapat atau mau menjalankan apa yang disampaikan oleh seorang da’i, bukan hanya sekedar dipahami, direnungkan dan dirasakan saja.dan bagaimana agar seorang mad’u benar-benar menjalankan apa yang disampaikan oleh da’i dengan penuh kesadaran dari dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
- Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Bumi Aksara: Jakarta. 1990
- Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Pustaka Firdaus: Jakarta. 1997
- Serta beberapa sumber dari internet