Pages

10.24.2011

NUANSA FILSAFAT DAKWAH DI DALAM TEOLOGI MU’TAZILAH

A. Pendahuluan
“Segala sesuatunya semakin memburuk, dan sungguhlah jelas mengapa kita belum meminum ampas yang terakhir. Tetapi saya menganggap naiknya semua racun ini ke permukaan sebagai suatu proses yang perlu dalam pembentukan Negara” ucap Gandhi kepada Jawaharhal Nehru pada pertengahan tahu 1927[1].
Ungkapan Gandhi di atas, mungkin mengarah pada sebuah Negara yang sedang dilanda kehancuran karena adanya wabah penyakit. Akan tetapi walaupun begitu, perlu dikaji ulang, bahwa Islam pun semenjak wafatnya Rasulullah Saw, juga mengalami kemerosotan, terutama pada kemerosotan moral dan terpecahnya umat ke dalam sekian aliran.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang agama-agama di dunia ini mengalami gerak dinamis, perlahan tapi pasti, terpecah ke dalam sekte-sekte baru untuk mencari satu tujuan yang hakiki.
Naiknya racun ke permukaan, seperti yang diucapkan Mahatma Gandhi tersebut di atas, sama halnya terjadi dalam komunitas Islam setelah ditinggal oleh the lord of the world Muhammad Saw. Pemberontakan terhadap khalifah berlangsung besar-besaran, kesimpangsiuran akan hukum suatu masalah seakan tiada henti, hingga perselisihan fikir dan idealisme yang mengakibatkan terbunuhnya seorang khalifah Allah.
Beberapa realita tersebut, menjadi sesuatu yang patut dicemaskan, karena tidak menutup kemungkinan, Islam menjadi agama yang tidak lagi memiliki identitas sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Sehingga benarlah, bahwa membangun kembali unitas muslim jauh lebih berarti, daripada saling tuding dan mempertahankan idealisme yang tidak diketahui kebenaran mutlaknya.
Maka, realitas dan keinginan untuk membangun kembali unitas muslim itulah yang menjadi sejarah timbulnya mu’tazilah, dengan terlebih dahulu mengasingkan diri agar mampu menjernihkan diri dari perasaan subjektifitas dalam menilai kelompok dan orang lain, sehingga memandang kondisi insani secara arif dan bijaksana, melalui tunggangan filsafat Islam.
B. Filsafat Islam dan Lahirnya Kaum Mu’tazilah
Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam, terdapat lima abad yang menyaksikan suatu kegiatan filsafat yang menakjubkan. Yakni antara 100-595 Hijriyah atau tahun 720-1198 Miladiyah. Dalam lima kurun itu, para ahli pikir Muslim terbawa untuk memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama, serta terhadap alam dunia, dengan bertitik tolak dari daya akal murni. Mereka memikirkan kondisi insani pada latar belakang hakikat terakhir, serta sampai urat tunggan yang terdalam secara kritis dan sistematis.[2]
Dalam kerja pikir mereka itulah, ditemukan dua pendekatan berlainan terhadap iman dan agama. Terdapatlah alim ulama yang mempergunakan metode rasionil untuk menyelesaikan soal-soal iman. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yaitu mu’tazilah dan mutakallimun.
Memberikan definisi terhadap filsafat, sama halnya dengan menentukan mana lebih dulu antara telur dan ayam. Sebab diakui, kita bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang yang sedang belajar dari filsuf yang telah lalu.
Secara etimologi, kata filsafat, diambil dari bahasa Arab, Falsafah-berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, kata majemuk yang yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, kata filsafat memberikan pengertian “cinta kebijaksanaan atau mencintai kebijaksanaan.”
Al-Farabi (wafat 950), seorang Filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya[3]. Selain itu, penulis Living Issues in Philosophie, juga berpendapat bahwa “filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran, terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.”[4]
Dari kedua pengertian filsafat di atas, dapat dimengerti bahwa kegiatan mengetahui hakikat dan mempelajari ilmu secara radix adalah tugas pokok seorang filsuf, termasuk juga kegiatan mengkritisi sesuatu yang masih menjadi kesimpang siuran.
Dari pernyataan tersebut, maka kegiatan mengkritisi dalam filsafat, merupakan salah satu faktor penyebab munculnya aliran Mu’tazilah. Walaupun diketahui, Titus-penggagas pengertian filsafat tersebut-tidak lahir dan hidup pada masa awal dan perkembangan aliran Mu’tazilah.
Pendapat yang menyatakan bahwa filsafat berawal dari ketidaktahuan tentang suatu hal, serta keragu-raguan akan kebenarannya seperti pembahasan di atas, merupakan hal yang senada dengan Jujun S. Suriasumantri. Ia berpendapat bahwa pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat fimulai dengan kedua-keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum pernah kita ketahui.[5]
C. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Sepeninggal Rasulullah Saw, hingga menjelang berakhirnya zaman khulafaurrasyidin (632-660), alam Islami dilanda oleh musibah aneka warna. Fitnah besar pertama (656-661), dimana laskar Allah (hizbullah) mengumumkan perang jihad kepada khalifah Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib dan membunuh mereka, membawa krisis kepemimpinan. Fitnah besar kedua (680-692) menggoncangkan dasar hukum dari kepemimpinan tersebut. Dalam kalangan para mu’min timbullah bermcam-macam persoalan mengenai ajaran murni agama. Sejumlah aliran menarik penganut, sehingga polarisasi pendapat timbul dan kesatuan ummat tercerai berai. Faham Jahiliyyah tampak kembali. Amanah Rasulullah terancam pudar, dalam kekacauan dan kesemrawutan itu, bangkitlah suatu kelompok ahli pikir yang berpendirian tegas, dan bertekad menyelamatkan kehancurannya. Usaha mereka untuk mengoreksi situasi menyedihkan itu, berpangkal pada penggunaan akal dan asas-asas rasional. Karenanya mereka digelari nama ahli pikir dan filsuf pertama dalam Islam. Golongan itu disebut Mu’tazilah atau I’tizal, yaitu mereka yang memisahkan diri dari jumhur alim ulama yang dianggapnya menyelewengkan ajaran Islam.
Mu’tazilah lahir pada masa Bani Umayyah, diambil dari kata kerja ‘azala yang berarti, berpisah.[6] Lahir di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan nafas alirannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.[7]
Perselisihan antara Washil dengan sang guru, Hasan Bashri. Dimotivasi oleh masalah pengertian “murtakibil kabirah” atau pendosa besar.[8] Yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Dalam kesempatan tersebut, Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan satu dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada di antara dua keadaan, dengan pengertian bahwa orang tersebut bukan mukmin dan bukan juga kafir. Dalam kaitan ini, dijelaskan bahwa Washil segera bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan sang guru karena perbedaan pendapat. Lantas setelah itu, Washil mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dengan aliran yang dikenal dengan sebutan “mu’tazilah”.
Hal yang mencolok dari mu’tazilah, adalah prioritas mereka kepada rasio. Mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan wahyu, maka yang diutamakan adalah “ketetapan akal”.[9] Sehingga benarlah, jika ada yang mengatakan bahwa kaum mu’tazilah diberi label “pemuja akal”.
D. Lima Ushul yang Diusung Mu’tazilah
Setelah melakukan I’tizal, Wasil kemudian merumuskan beberapa faham baru lain, yang disusun dalam sistem. Ia mengajar dan mengarang di Basra. Lantas mengutus enam muridnya untuk menyebarluaskan sistemnya ke Maghrib, Khurasan, Yaman, Kufa, Armenia dan Iran.
Demikian mu’tazilah berijtihad untuk menyelamatkan alam Islami dari kehancuran, dan sebagai perlawan terhadap paham-paham baru yang mulai menggerogoti alam Islami. Lima prinsipnya kemudian menyebar ke segala penjuru, yang lebih dikenal dengan al-ushul al-khamsah yakni paham Tauhid (keesaan Tuhan); al-‘adl (keadilan Tuhan); al wa’dul wa’id (janji dan ancaman); manzilat antara dua manzilat; dan amar ma’ruf nahi munkar.[10]
Kelima ushul tersebut, menjadi ciri dakwah mu’tazilah, selain ditopang oleh ciri rasionalitas. Dakwah mu’tazilah, memang dilakukan secara konvensional,[11] akan tetapi perkembangannya cukup pesat dan sangat mengagumkan, sebagai pemula filsafat dalam Islam. Berikut penjabaran kelima ushul yang diusung mu’tazilah dalam dakwah Islamiyah mereka;
1. At-Tauhid
Mu’tazilah mengajarkan faham ketuhanan Aristoteles, yaitu kesatuan transenden Allah.[12] Mereka mengakui bahwa Allah wahid (tauhid=pengesaan), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak berteman (syarika); Allah bukan substansi, bukan person, bukan aksidens; tiada pada Allah warna, rasa, panas, dingin, tinggi, rendah; Dia tidak tersusun; ia tidak dalam ruang, tidak dalam waktu; ia tidak bergerak, tidak beristirahat; tiada padaNya kiri, kanan, atas, bawah, depan belakang. Allah ada sebelum penciptaan alam, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan “لم يلد ولم يولد” tidak ada yang abadi kecuali Dia “كل شئ هالك إلاوجهه” serta pengecualian-pengecualian lainnya, yang mendukung pentauhidan Allah.
Selain itu, ayat “ليس كمثله شئ” merupakan dalil yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa Allah tidak boleh diberi atribut-atribut kemakhlukan ataupun insani.
Begitulah mu’tazilah memurnikan konsep ilahi dari segala macam antropomorfisme, mengosongkannya dari setiap perbaindingan. Mu’tazilah mempertahankan transendensi Allah yang mutlak (tanzih), dengan ta’til ingkaran setiap tashbih (perbandingan) dan ta’wil, menafsirkan ayat-ayat Qur’an yang agaknya menunjukkan tashbih sebagai bahasa kiasan (allegories).
Sesuai dengan asas itulah, mu’tazilah menolak bahwa Allah bersifat, sifat-sifat Allah seperti kudrat, iradat, ilmun, hayat, dan kalam, sami’ (pendengaran) bashar (penglihatan), yaitu ketujuh sifat ma’ani yang dianggap berbeda dari wujud Allah semuanya dan seluruhnya diingkari. Ajaran sunni tentang ilmu sifat, yang menetapkan bilangan sifat Allah, dinilai sebagai suatu ajaran poletheis (syirik). Bila Allah dikatakan di dalam Al-Qur’an, sebagai dzat yang berkemauan, berilmu, mendengar dan lain sebagainya, tidak lain hanya sebagai pembuktian keberadaan Allah.
2. Al-‘Adl (Keadilah Tuhan)
Aliran-aliran semisal Jabariyah, Khariji, Jahm bin Safwan, percaya bahwa Allah di atas dan di luar keadilan. Pendapat bahwa Allah berbuat adil kepada makhluknya, bagi mu’tazilah adalah sesuatu yang membatasi ruang gerak dan kekuasaan Allah. Mereka berpijak pada ayat yang berbunyi “إنا ربكم فعال لما يريد” Sesungguhnya Rabbmu (Allah) berbuat sesuai kehendaknya.
Dapat dipahami, bahwa apabila dalil di atas dipahami secara baik, bahwa Allah melakukan sesuatu atas dasar kesewenangan, Allah adalah Tuhan yang demonis dan sadis. Maka dari itu, mu’tazilah demi melawan pemahaman mereka, menetapkan bahwa Allah adil dan wajib adil. Tiada takdir buta (predestinisasi) tanpa ikhtiar manusia. Menyaksikan bahwa Allah adil, berarti Allah maha baik. Selalu menepati kewajibannya; tidak menghukum anak karena dosa orang tuanya, tidak menuntut amal manusia di atas kemampuannya. Memberi pahala kepada manusia, apabila berbuat baik dan beramal sholeh dan memberikan iqob dan hukuman kepada orang yang berbuat maksiat dan berbuat salah.
Asas tauhid dan keadilan ilahi merupakan kedua tonggak filsafat mu’tazilah sampai mereka menyebut diri mereka sebagai “ahlu tauhid wal ‘adl”.[13] Dengan kedua Asas tersebut, kaum mu’tazilah mampu melenyapkan kemasygulan yang mengancam iman umat Islam dalam lika-liku kesyirikan dan fatalisme.
3. Al-Wa’du Wal Wa’ied (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini, merupakan penjabaran tentang pahala dan dosa, yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang beramal sholeh dan melanggar syariah Allah.
Janji dan ancaman ini, memiliki arti bahwa keadilan Allah dibentengi oleh janji dan ancaman. Agar manusia mampu memijakkan kakinya pada pijakan dan tindakan yang tepat, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan kejahatan dan kefasikan. Bagi mereka yang melakukan dosa besar dan kefasikan, agar segera bertaubat kepada Allah.
Dari sini, dapat diartikan bahwa ketetapan janji dan ancaman Allah sangatlah berlaku bagi makhluknya. Allah sangat jujur kepada makhluknya. Pahala dan ganjaran yang sepadan akan diberikan oleh Allah kepada makhluknya yang berlaku baik dan yang berlaku jahat. Ini merupakan hukum dan hukuman yang menegakkan keadilan, maka tidaklah ada seorang manusia apapun jabatan dan kedudukannya dapat mengampuni dan menhgapusi dosa seorang manusia dengan cara bagaimanapun juga.[14]
Ushul ketiga ini, sebenarnya merupakan ushul lanjutan dari al-‘adlu, jadi keadilan selalu menghendaki agar orang yang berbuat dosa diberi ancaman berupa hukuman dan orang yang beramal sholeh diberi janji berupa pahala.
4. Manzilat Antara Dua Manzilat (Manzil Menengah)
Kaum khariji membedakan orang mu’min dan orang kafir secara mutlak. Bagi mereka, hanya terdapat dua golongan atau manzil manusia. Apabila seorang muslim melakukan dosa besar, ia dinyatakan telah keluar dari Islam dan menjadi musyrik, sehingga harus dibunuh. Lebih fanatik lagi, aliran azaariqoh yang menilai setiap dosa, sekalipun kecil, merupakan bukti kemusyrikan; anak dan istri seorang musyrik, walaupun muslim, maka dia dianggap musyrik juga dan harus dibunuh.
Melawan mereka, mu’tazilah menetapkan adanya kedudukan menengah antara seorang muslim dan musyrik: manzilat antara dua manzilat, yaitu seorang fasiq, atau muslim berdosa. Bila dia tidak bertobat, ia masuk neraka kekal, walaupun hukuman tidak seberat seperti kafir tulen. Bagi mu’tazilah, seorang fasiq, dalam hidupnya masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karenanya tidak halal membunuhnya atau putusan perlu ditangguhkan, agar mampu melakukan taubat.
5. Amar Ma’ruf
Seperti halnya keempat ushul di atas, mu’tazilah yang banyak paham (mengerti) akan ajaran Aristoteles, lebih banyak mengusung filsafat etik Aristoteles: terlepas dari wahyu akal manusia dapat membedakan baik dan buruk dan wajib melakukan yang baik. Dalam ushul ini, mu’tazilah menolak theokrasi, voluntarisme, positivisme hukum, dan menegaskan hukum tabiat, moral, dan sosial. Kepala ummat atau imam, harus menyeru dan mewajibkan kepada ummatnya agar mengorientasikan diri pada perbuatan baik.
Masing-masing warga ummat harus menjauhkan diri dari kejahatan seperti mencuri, minum anggur, dan berbuat zinah. Termasuk juga dalam amar ma’ruf, kegiatan dakwah Islamiyah dengan penyiaran secara lisan, tangan ataupun pedang sesuai kemungkinan yang ada. Ajaran itu kemudian dicocokkan dengan Al-Qur’an: “الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر” (3/110). Manusia punya potensi untuk berbuat baik dan istitha’at (potentia obedientalis), kemampuan untuk memajukan kepentingan umum atau maslahat. Jelaslah bahwa para mu’tazilin membaca Al-Qur’an dengan kacamata rasionalis.
Kelima ushul pokok tersebut merupakan ajaran yang disetujui oleh semua mu’tazili. Berbeda halnya dengan atomisme. Di Bashra, Abu Hudayl Al-Allaf (wafat 841) membenarkan atomisme, sedang Ibrahim Al-Nazzam (wafat 845) menentangnya. Hal ini terjadi, karena mu’tazili juga memperbincangkan soal-soal lain yang disebut daqiq al-kalam, yang meliputi keterangan mengenai benda, substansi, atom, sebab, gerakan dan psikologi.
E. Maju Mundurnya Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai aliran yang mengajarkan paham-paham baru, terutama masalah teologi, mendapat perlawanan besar dari beberapa ulama tradisionalis. Terjadilah tuding-menuding akan penafsiran Al-Qur’an, sehingga membuat keamanan Negara merana.
Khalifah Abdallah Al-Ma’mun (813-833), putra Harun Ar-Rasyid, mengambil keputusan untuk mengangkat ajaran mu’tazilah sebagai ajaran Negara.
Namun tidak lama kemudian Khalifah Mutawakkil yang dimotivasi oleh hasutan kelompok anti mu’tazilah, memutarbalikkan keadaan, dogma irrasionil tentang I’jazul Qur’an diputarbalikkan sebagai dasar Nagara. Pusat pengajaran mu’tazilah dibongkar.

Sumber: http://choisety.wordpress.com/2009/10/18/nuansa-filsafat-dakwah-di-dalam-teologi-mu%E2%80%99tazilah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar