Pages

10.24.2011

Meneladani Filsafat Dakwah Sunan Kalijaga

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan (Wayang Kulit), ada seorang Publik Figure (Uswatun Hasanah) yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan (kerajaan) Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘’Puntodewo”, sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah” Kun Ta Da’iyan” yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan (dakwah).

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘’ Pendowo Lima”. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno (Janoko), Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali (Raden Mas Said), kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama’ yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan ” Jamus Kalimu Sodo” yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan (ceramah), dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da’i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:”

“Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa” sebagaimana dicatat oleh sejarah:” Menehono teken wong kang wuto (buta), Menehono pangan marang wong kang luwe (kelaparan), menehono busono marang wong kang wudo (telanjang), menehono ngiyup marang wong kang kaudanan (kehujajan)[1].

Filsafat dakwah para ulama’ terdahulu mendahulukan moral (Haliyah), sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama’ itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran (ilmu)nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.

Mereka telah tiada, tetapi buah pikiranya masih sangat terasa, bahkan dibaca oleh jutaan manusia dibelahan dunia. Mereka perintis kebaikan, mewarisi ilmunya para Nabi, dan melanjutkan cita-cita Nabi. Sudah pasti, mereka memperoleh aliran pahala (royalti) dari jerih payahnya selama merintis kebaikan kala itu. Nabi pernah menuturkan:” Barang siapa merintis (sunnah) kebaikan di dala agama islam, kemudian kebaikan itu dilakukan, maka ia akan memperoleh pahala, serta memperoleh pahala kebaikan orang yang melakukanya sepeninggalnya”.[4]

b. Dakwah di Era Internitasi.

Di era modern, dunia sudah menjadi satu, busana laki-laki dan wanita sulit untuk dibedakan. Nama laki-laki sering dipakai oleh seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Pola fikirnya juga tidak jauh berebda antara kaum hawa dan lelaki. Yang membedakan hanyalah kodratnya wanita yang masih melahirkan, walaupun ahir-ahir ini kaum wanita mulai menggugat dengan “‘Revolusi Seksual”. Mereka tidak ingin menikah, mereka bisa memiliki anak tanpa harus menikah, mereka menggugat kesakralan penikahan.

Pergaulan muda-mudi seringkali kebablasan, dan sulit dikontrol lagi, bahkan sampai berbuat kriminal. Orang sibuk mencari rejeki dikota-kota besar, bahkan pergi keluar Negeri untuk mengadu nasib, tanpa memperdulikan tuhan sang pemberi rejeki. Mereka lupa, bahwa tuhanlah yang menghendaki dan merubah dunia dan isinya. Orantua tega membunuh anaknya sendiri, begitu juga sebaliknya. Yang kuat selalu berkuasa dan berbuat semena-mena, dan yang miskin selalu tertindas, semakin hari semakin menjerit.

Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah.

Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, sudah saatnya bertapa (puasa) untuk mencari petunjuk-Nya. Sholat malam, puasa sunnah, menjalankan sholat lima waktu, memohon kepada-Nya ditenggah keheningan malam agar memperoleh hidayah-Nya. Seringkali renungan ditenggah malam mampu menembus langit, sehingga tuhan berkenan memberikan methode ampuh, yang kemudian bisa untuk menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunah kepada masyarakat.

Internet, TV, dan juga Media masa adalah salah satu media atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan tuhan dan Nabi di muka bumi. Dan ini adalah dakwah di dunia modern, bukan berarti meninggalkan cara-cara klasik, seperti ngaji (halakoh) di masjid-masjid atau musolla. Karena methode klasik ini masih relevan, perlu dipertahankan dan lestarikan. Namun, terus mencoba mencari terobosan baru di dunia modern ini, seperti menenalan Nabi dengan layar lebar, atau membuktikan ke-ilmiyahan al-Qur’an dan dawuhnya Nabi. Dengan harapan, semua itu dapat merubah moral generasi bangsa menjadi lebih baik.

Njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah. Di dunia Modern, tehnologi dan informasi menjadi alat untuk menjelajahi dunia maya (internet), dengan menulis pesan-pesan tuhan lewat internet, agar semua orang bisa membaca dan mengambil manfaatnya. Dan ini adalah cara terbaik, di era modern dan internitasi. Dakwah kita terus kita perbaiki dengan inovasi, sehingga menarik dan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Yang lebih penting lagi, senantiasa berdo’a siang dan malam, agar mendapatkan petujuk dan pertolongan-Nya. Wallau a’lam

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/20/meneladani-filsafat-dakwah-sunan-kalijaga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar