Pages

10.24.2011

Sebab Cinta itu Doa, Bukan Sepotong Magnum

Setiap cinta memiliki episode tersendiri dalam hidup. Terkadang manis sehingga empedu terasa madu namun juga terkadang pahit walau sebenarnya di lidah teronggok gula jawa. Setidaknya itu yang pernah saya rasakan dan mengubah pandangan saya tentang hidup yang mulai berlanjut pelik. Saya hidup sejak tahun 1988. Jika dihitung, umurku sudah masuk tahun ke dua puluh dua. Lumayan lama Allah memberi umur kepada saya.
Saya tidak begitu tahu bagaimana penyair, sufi, pembunuh, dan pencuri menafsirkan cinta. Yang jelas cinta telah saya tafsirkan sebagai doa. Ia murni sebagai anugerah dari Allah untuk hambanya.
Suatu saat pada waktu yang tidak aku tentukan dan tidak pula aku sengaja rencanakan, mataku memilih seorang wanita untuk kulihat dari balik jendela sekolah. Mataku hampir tidak berkedip jika melihat dia berjalan dengan anggun. Aku seperti meminum sebotol vodka lalu merasakan kehangatan yang luar biasa.
Awalnya aku merasa seperti seorang pengembara yang kehauasan, dan tiba-tiba menemukan segelas air dalam sebuah tempurung kelapa. Rasanya sangat puas jika aku sudah meneguk air dari kelincahannya berkomunikasi, cara dia menunduk dan membalutkan kerudung pada kepalanya yang oval. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam ketakjuban wajahnya, subhanallah ma khalaqta hadza bathilaa.
Ini cerita pertamaku tentang wanita yang hidup dalam ingatan dan hatiku, dia adalah manusia asing yang kemudian tanpa sengaja aku ambil dan kusemayamkan di kedalaman hati. Tapi tentu semua tahu bahwa aku adalah lelaki yang selalu gemetar jika berhadapan dengan manusia berjenis hawa.
Dan tahukah engkau ada banyak kisah dalam usia yang sangat belia itu. Sehingga di luar kemampuanku aku merayu Allah sebelum merayu dirinya. Ayahku selalu mengatakan bahwa setiap manusia yang berdoa pasti dikabulkan. Ayahku menyelesaikan kalimatnya sebatas itu. Aku yang belum mengerti bahasa hikmah melakukan itu secepatnya. Aku memohon agar aku mampu mencintai dan dicintainya sebagaimana orang-orang lainnya memadu rasa.
Hanya dalam hitungan hari aku bisa meraih cinta darinya, dia aku panggil adik dan dia memanggilku kakak. Rasanya ada yang mengguyur tubuhku dengan seember salju, hampir saja aku beku dengan kesejukan itu. Ayah perempuan yang kucintai adalah seorang pedagang yang keras terhadap anaknya, dia kupanggil “abah”. Rumahnya besar dan memiliki sekian kemewahan dari Allah. Setiap kali laki-laki berkunjung walau untuk sekedar mengerjakan tugas kelompok yang diberikan sekolahnya, setiap kali itu pula abah akan mengusir jauh sebelum kaki-kaki mereka melangkah ke halaman rumah.
Tapi inti tulisan ini bukan soal itu. Mari saya lanjutkan.
Di pertengahan jalan aku berpisah jarak yang begitu jauh dengan dirinya, aku harus nyantri di sebuah pondok yang sangat ketat dalam hal disiplin. Di situlah kemudian masalah muncul, aku tidak leluasa menghubungi dia. Di pondokku semua yang mengarah pada terjadinya hubungan lawan jenis yang bukan muhrim, akan dijaga sedemikian mungkin.
Datanglah kabar burung dari beberapa teman bahwa seseorang yang aku cintai itu telah memilih orang lain untuk menggantikan posisiku yang berada nun jauh darinya. Aku bahkan melihat foto dia tanpa menggunakan kerudung lagi. Wajahnya terlihat mesra sambil menyunggingkan senyum saat berpose dengan lelaki putih bertubuh tegap di sampingnya.
Hatiku terampas, dan mulailah aku kehilangan konsentrasi. Dan tahukan kawan, doa apa yang aku panjatkan? Aku meminta kepada Allah agar dia tetap mencintaiku seperti sedia kala. Allah maha adil dan maha pengabul doa. Doa itu dikabulkan secepat mungkin. Allah benar-benar dekat kawan Dia mendengar doaku.
Tapi yang aku panjatkan kepada Allah itu, lagi-lagi adalah perintah kepada Allah, aku seakan-akan tahu segalanya yang terbaik bagiku. Pertama, aku meminta agar dia mencintaiku dan kami menjalin cinta. Kedua, aku meminta agar dia kembali mencintaiku seperti sediakala. Padahal aku belum tahu apakah dia adalah yang terbaik bagiku.
Karena doa yang kupanjatkan hakikatnya adalah perintah kepada Allah, maka tetap saja kawan, akhir ceritanya adalah ketidakpuasan. Dia kemudian melakukan sesuatu yang sangat aku benci, yakni melepas kerudung dan bersanding dengan orang lain, dengan alasan aku terlampau jauh untuk dijangkau.
Sebenarnya yang paling aku benci dari perubahan dia adalah masalah aurat, masalah dia mencintai orang lain itulah sudah menjadi resiko.
Sejak itu aku stres dan sering kehilangan kontrol. Berulang kali ayah mendorongku untuk kembali memikirkan masa depan. Alhamdulillah aku diberi banyak anugerah oleh Allah, dari keterampilan retorika, jurnalistik, dan kelebihan lainnya. Ayah percaya jika aku banyak berdoa dan berusaha lebih keras lagi, maka aku akan kembali normal.
Aku marah bukan main, aku belum gila. Lantas kenapa ayah menyuruhku untuk berusaha melupakan dia. Ini bukan produk “pada dasarnya”, ini produk kausalitas. Dia berpaling dariku karena aku yang menjauh darinya. Aku mulai tak percaya doa, pikiran logisku yang sebenarnya tak logis mulai menguasai keinginanku. Oleh karenanya aku berusaha untuk berhenti mondok dan berdiam di desa saja, sambil lalu bekerja menyabit sawah atau melaut demi dia.
Ayah marah besar, ayah yang tokoh Muhammadiyah tidak akan menerimaku sebagai anak jika itu terjadi. Ancaman itu keluar begitu keras menggelegar. Keberanianku ciut, dan di situlah aku menemukan sebuah pohon tua yang rindang menaungi rumputan kecil di bawahnya. Dari situ aku mengambil hikmah, bahwa aku harus menemukan kesejukan dari yang maha besar, Allah!
Kemudian ayah mendatangiku dari pulau yang harus dilintasinya selama dua belas jam. Ayah membawakan sebuah doa kepadaku. Dia mulai toleran.
“Jika kamu yakin dia adalah wanita pilihan Allah untukmu dan keluargamu, maka berdoalah agar kamu diberi petunjuk. Diakah pilihannya atau bukan.” Begitulah kata ayah dengan lembut. Aku sedikit ngedumel dalam hati, sebab jika dia tidak baik bagi Allah, berarti konsekwensinya aku harus berpisah darinya.
Aku kemudian menjalankan doa yang disarankan ayah dengan tambahan shalat istikhoroh dan shalat hajat. Hasilnya nihil, selama tiga hari yang datang selalu wajahnya dan tidak tampak sama sekali wajah orang lain yang diam-diam aku kagumi.
“Pasti ada yang salah dengan cara istikhorohmu.” Ayah seakan ingin mendramatisir keadaan, di situ aku mulai curiga jangan-jangan ayah menyuruhku melakukan ini semua agar aku bisa melupakan dia, bukan untuk memilih yang terbaik. Sepertinya ada intervensi ayah di dalam doa itu. Aku sangat benci kawan. Ayah tidak adil.
Ibu yang biasanya tinggal diam dan menuruti segala kemauanku sambil lalu berdoa di setiap pertiga malam, ikut bicara. Dia malah menangis sejadi-jadinya ketika aku mendebat ayah.
Mendengar tangis ibu yang begitu parau itu, aku kembali berdoa sesuai perintah ayah. Semua aku lakukan demi ibu, seseorang yang tangisnya adalah cambuk bagiku. Dan inilah kuasa Allah, setelah aku berdoa di setiap pertiga malam selama tiga bulan, sembari pasrah bahwa semua ketentuan adalah baik bagi hambanya, aku akhirnya menemukan mimpi yang selama ini tidak pernah aku alami. Seseorang datang dengan membawa obor di tangan kanannya. Wajahnya tidak pernah aku kenal. Yang kuingat hanya tangannya yang membawa obor dan wajahnya yang menyunggingkan senyum hanya untukku.
Oh iya, doa yang aku kabulkan waktu itu adalah “Ya Allah, jika dia—wanita yang menghianatiku—adalah yang terbaik bagi hamba, maka dekatkanlah kami, dan perbaiki hubungi kami. Tapi jika menurut Engkau dia bukan yang terbaik bagi hamba, jauhkanlah kami dan segera pertemukanlah hamba dengan jodoh yang telah Engkau persiapkan.”
Berselang waktu yang cukup lama, akhirnya ada banyak kejelekan yang sangat tidak aku sukai darinya, Allah perlihatkan padaku dengan sangat terang. Disitulah akhirnya aku yakin doaku mulai dijawab oleh Allah.
Mimpi yang kuterima tentang wanita pembawa obor adalah ketika aku lulus wisudawan pondok pesantren Al-Amien Prenduan, aku diangkat sebagai staf tata warkat pondok, bagian yang aktif di dalam surat menyurat pondok dan ijazah.
Pada suatu pagi satu juni dua ribu tujuh, pimpinan dan pengasuh pondok memanggilku untuk mengurus ijazah alumni yang ingin melanjutkan studi ke Timur Tengah, khususnya daerah Mesir.
Dan setelah pimpinan memanggilku ke kediaman Beliau, barulah aku sadar bahwa inilah jawaban atas doaku. Seseorang yang hadir dalam mimpiku itu berada persis di depan mataku. Dia menunduk, sama seperti wanita pertama yang aku cintai. Tapi tidak, ini sama sekali tidak dibuat-buat, dia benar-benar pemalu.
Benarkah itu suatu alamat dari Allah?
Aku percaya dan pasrah kepada Allah, aku baca berulang kali ayat-ayat yang diberikan ayah sebagai hadiah ulang tahunku sampai-sampai menjadi prinsip hidup. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamah dalam melakukan ibadah, maka malaikat akan turun kepadanya untuk menjaga kita dari ketakutan dan kesedihan. Ayat itu menjadi motivasiku untuk tidak ragu-ragu meminta seorang teman agar menyampaikan perasaan tertarik untuk dekat, walaupun sebenarnya hatiku sama sekali tidak mencintainya. Aku percaya kepada Allah dengan doa yang aku pasrahkan segala pilihan kepadaNya.
Dalam doaku, aku meminta agar aku segera dipertumakan dengan jodohku. Aku akhirnya diterima sebagai orang yang pantas memimpinnya. Mulailah waktu itu aku berkunjung ke rumah wanita pembawa obor dengan hanya bermodal berani. Di situlah aku ditolak mentah-mentah oleh sang ayah, yang ternyata sama-sama keras terhadap anak-anak perempuannya di dalam pergaulan.
Aku kemudian berusaha sabar, bukankah Allah sudah menyuruh kita untuk meminta pertolongan Allah dengan kesabaran dan shalat? Sejak itu aku kembali berdoa “Allahumman surnaa ya Allah, waj ‘alnaa zaujaini mabrukaini ya Allah.” Ditambah lagi dengan doa “Allahummaj’alna syakura waj’alna sobuura waj’alna fi a’yuninnaasi kabiro waj’alna fi a’yunina sogiro” kami sepakat tidak menodai hubungan dengan bertemu dan bertatap-tatapan, saling telfon berlebihan dari sekedar menanyakan kabar. Selain juga sepakat bahwa kami akan sama-sama berdoa memohon pertolongan Allah agar kami diberi kekuatan sabar dan tawakkal, hingga sampailah kita pada destiniton kita sebagai keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
Sangat sulit kawan untuk ditafsirkan, semua orang pesimis akan hubungan kami. Sebab terlalu banyak orang yang melamar Robiah, namun nyatanya ditolak mentah-mentah, hatta keluarganya sendiri. Ketika itulah aku mulai memohon kepada Allah, ya Allah jika engkau mau, maka bumi menjadi gunung dan gunung menjadi lautan. Karena itu aku yakin bukanlah hal yang sulit jika engkau membalikkan hati Abah agar menerimaku dengan lapang dada sebagai pemimpin bagi anaknya. Dan engkau tahu, aku ingin menjaga segalanya. Bukan karena dia cantik atau karena apapun yang dimilikinya. Akan tetapi karena aku merasa dia adalah pilihan Engkau.
Sepertinya segala sesuatunya sangat mudah bagiku dengan doa. Namun tidak begitu kenyataannya kawan, jika aku berdoa agar diberi kesabaran, maka Allah akan menguji kesabaranku. Di situlah mengapa setelah satu bulan kami menikah, kami dipisahkan jarak yang sangat jauh, bukan lagi jarak antar kota, tetapi jarak antar negara, Indonesia-Mesir.
Di situ kami kembali berdoa “Allahumma inna nastaudi’uka ahlana ya Allah wahfadz ‘alaqotana, waj’alna minassholihin wan najihien Amien” itulah yang menjadi kekuatan cinta kami hingga dua setengah tahun berlalu. Doa yang sebenarnya cinta, atau sebaliknya cinta yang sebenarnya doa.
Cobaan tidak hanya terpisah jarak kawan, kami difitnah habis-habisan oleh banyak orang. Abah membenciku dan tidak mau bertegur sapa, aku seakan anjing baginya yang tidak pantas dihargai. Semua orang mulai membenciku karena tergoda fitnah. Istriku hampir tergiur untuk melukai hatiku karena keadaan membuatnya terdesak, dan orang-orang Indonesia di Mesir tidak mau mengerti akan keadaan yang sedang melanda kami. Dan begitulah setiap kali kami putus asa, kami yakin bahwa ada kejutan luar biasa yang telah dipersiapkan Allah secara rapi, karena aku telah berdoa dengan memasrahkan segalanya pada Allah setelah usaha.
Aku masih ingat pula ayat 214 dari surah Al-Baqoroh bahwa Rasulullah mencapai kesempurnaan, justru karena telah bertemu dengan bermacam-macam cobaan. dari situlah aku belajar bahwa aku sedang diuji, karena sesegera mungkin Allah akan memberi nikmat yang maha dahsyat. Dan jika aku berdoa, maka Allah maha mendengar dengan kekuasaannya yang maha pengasih dan maha penyayang.
Begitulah akhirnya aku tidak lagi menyuruh Allah sesuai dengan kehendakku semata, karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi nanti. Aku pasrah setelah usaha dan doa yang terpanjatkan. Subhanallah wa bihamdihi subhanallahil ‘adzim.

Sumber: http://choisety.wordpress.com/2011/05/06/sebab-cinta-itu-doa-bukan-sepotong-magnum/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar