Pages

10.22.2011

Rukun Nikah: Wali

Paling tidak harus ada 4 (empat) hal pokok yang menjadi rukun atas sahnya sebuah pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tidak terpenuhi, batallah status pernikahan itu. Yaitu Wali, Saksi, Ijab Kabul (akad), dan Mahar.


Wali

Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.


Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.


Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:


Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah)


Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)
Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi". (HR Ahmad).


1. Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang sah sebagai ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yang sah, maka secara hukum tidak sah juga kewaliannya.


2. Syarat Seorang Wali
* Islam, seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini :

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)

* Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak sah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.

* Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.

* Merdeka, maka seorang budak tidak sah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama Islam, berakal, baligh.


3. Urutan Wali
Dalam mazhab syafi'i, urutan wali adalah sebagai berikut :
* Ayah kandung
* Kakek, atau ayah dari ayah
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
* Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
* Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
* Saudara laki-laki ayah
* Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)

Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.

Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.

Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.

Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.

Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak sah dan harus dipisahkan saat itu juga.

4. Kasus Wali ‘Adhal : tidak mau menikahkan anak wanitanya ?
Seorang ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul adhal, yaitu wali yang menolak menikahkan.

Dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan putrinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yang sering dikenal adalah wali ‘adhal.

Namun tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga kepada keluarganya dan terutama kepada ayah kandungnya.

Dan untuk itu diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang. Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang tuanya tidak mau menikahkannya.

Sehingga pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali ‘adhal itu memang dianggap mengada-ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang sah dari pengadilan agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim. Misalnya untuk menghindari dari resiko zina yang besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak mau tahu.

Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yang sah dan resmi menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar